perlindungan hukum terhadap anak pada tahap pemasyarakatan.
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمدلله رب العالمين. والصلاة والسلام على اشرف
الأنبياء والمرسلين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه اجمعين. امابعد
Assalamu Alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula shalawat dan
salam kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari
alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Selanjutnya, kami
menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami selama penyusunan
makalah ini, secara khusus kepada :
1.
Dosen Pembina Mata Kuliah, Nur Hasanah, SE, atas bimbingan dan arahannya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
2.
Kedua Orang Tua, atas doa dan bimbingannya.
3.
Rekan Mahasiswa, atas partisipasinya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami memohon maaf kepada para pembaca apabila terdapat kesalahan
didalamnya. Selanjutnya, kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari para pembaca guna mencapai kesempurnaan dari makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb
Watampone, 24 Maret 2013
KELOMPOK V
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan SDM yang
berkualitas, anak sebagai generasi penerus harus dapat tumbuh dan berkembang
dalam suasana yang menyediakan sarana dan prasarana yang dapat menopang
kelangsungan hidup. Sehingga kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental,
serta perlindungan dari berbagai gangguan atau marabahaya yang dapat mengancam
masa depan dapat tersedia sebagaimana mestinya.Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Di Indonesia sedang berlangsung perubahan
tata nilai sosiokultural masyarakat. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap pola
perilaku masyarakat dan juga pada proses perkembangan anak. Diperlukan sebuah
kecermatan dan perhatian yang ekstra terhadap posisi dan eksistensi anak agar
perkembangan anak tetap dalam koridor yang diharapkan dan dapat dihindarkan
dari pengaruh negatif pertumbuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi saat
ini. Fenomena yang terjadi memperlihatkan bahwa perilaku anak menjurus kepada
tindak pidana kejahatan, seperti pemerkosaan, pencabulan, pencurian,
perkelahian antar pelajar dan lain-lain sudah mulai menjamur. Hal ini dapat
menyebabkan anak tersebut diharuskan berhadapan dengan proses hukum yang
disamakan dengan orang dewasa.
Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
pemikiran mengenai fungsi pemidanaan bukan hanya pemenjaraan tetapi juga suatu
usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi warga binaan pemasyarakatan.
Usaha ini dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan juga
masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Tujuan
akhir dari usaha ini adalah agar warga binaan menyadari kesalahan, dapat
memperbaiki diri, dan juga tidak mengulangi melakukan tindakan-tindakan pidana
di masa yang akan datang.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di
atas, masalah-masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian anak ?
2.
Apa pengertian anak yang bermasalah dengan hukum ?
3.
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak pada tahap pemasyarakatan
?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui pengertian anak.
2.
Mengetahui pengertian anak yang bermasalah dengan hukum.
3.
Mengetahui perlindungan hukum terhadap anak pada tahap pemasyarakatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Anak
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka
pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang
belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur
atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga
disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).
Pada tingkat Internasional rupanya tidak
terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur
seseorang dikategorikan sebagai anak antara satu negara dengan negara lain
cukup beraneka ragam yaitu :
Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika
Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain
yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara
12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara
8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara
Asia antara lain : Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18
tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja
menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina
menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.
Maka bertitik tolak dari aspek tersebut
ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum) tidak mengatur adanya
unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria
batasan umur bagi seorang anak, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai
peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :
1.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Pada Pasal 1 (3) merumuskan, bahwa anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi anak dibatasi
syarat dengan umur antara 12 tahun sampai 18 tahun.
2.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (Undang-undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak).
Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak
adalah seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
3.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan.
Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Batasan umur ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata,
tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang
digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21
tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa adalah
seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau belum pernah
kawin.
4.
Dalam Hukum Perburuhan.
Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok
Perburuhan (Undang-undang No.12 Tahun 1948) memberikan pengertian anak adalah
orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah.
5.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak
yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu,
apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan
supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun
pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan
Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-undang No.3
Tahun 1997.
6.
Anak menurut Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974).
Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat
(1) undang-undang Pokok Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut
anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
7.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan
penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin
8.
Menurut Hukum Adat Indonesia.
Dalam hukum adat Indonesia maka batasan
untuk disebut anak bersifat pluralistik. Dalam artian kriteria untuk menyebut
seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya.
Misalnya : telah “kuat gawe“, “akil baliq”, “menek bajang”, dan lain sebagainya.
9.
Menurut Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap
manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak
pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan
seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status
menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subjek hukum yang dapat
bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan
tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa
indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah
bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik
orang tua maupun wali. Berdasarkan
penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat
dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat
dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak
tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari
pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah
seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan
bimbingan untuk kedepannya.
B.
Pengertian Anak yang Bermasalah dengan Hukum
Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, yaitu :
1)
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
2)
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat
juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan
pidana karena :
1)
Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2)
Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3)
Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang
berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :
1)
Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2)
Korban tindak pidana;
3)
Saksi suatu tindak pidana.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile
Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia
berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau
mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar
peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan
sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku
dalam suatu masyarakat.
Perbuatan dikatakan delinkuen apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam
masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang
didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Pengertian Juvenile Deliquency menurut
Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku
jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.
Menurut Romli Atmasasmita Juvenile
Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah
umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma
hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang
bersangkutan.
Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan
mengenai Juvenile Delinquency, sebagai :
1.
Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh
hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;
2.
Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat;
3.
Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial
termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.
Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan
anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan
pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum
pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang
berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang
melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun
maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).
C.
Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan
1.
Lembaga Pemasyarakatan Anak
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang “Pemasyarakatan” merupakan
landasan yuridis yang menetapkan bahwa terhadap anak pelaku tindak pidana atau
anak nakal yang telah diputus dikenai sanksi, berupa pidana penjara,
terhadapnya akan dilakukan proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan
ditempatkan secara khusus dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak).
Penempatan secara khusus dalam Lapas Anak
berarti pembinaan NAPI anak dilakukan dalam sistem pemasyarakatan. Menurut
ketentuan Pasal 60 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa
Anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lapas yang terpisah dari NAPI dewasa.
Anak yang ditempatkan di Lapas Anak, berhak memperoleh pendidikan dan latihan
baik formal maupun informal sesuai bakat dan kemampuan, serta memperoleh hak
lain.
Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem
pemasyarakatan tersebut dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lapas yang
merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan NAPI dan Anak Didik
Pemasyarakatan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak pada Bab VI dengan judul Lembaga Pemasyarakatan Anak Pasal 60,
menentukan:
a.
Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lapas Anak harus terpisah dari
orang dewasa.
b.
Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya
serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pelaksanaan pembinaan terhadap anak
pelaku tindak pidana di Lapas Anak diatur di Pasal 20 Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa dalam rangka pembinaan terhadap anak
pidana di Lapas Anak dilakukan penggolongan berdasarkan umur, jenis kelamin,
lamanya pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai
dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Anak
Didik Pemasyarakatan sesuai dengan sistem pemasyarakatan maka LPA terlebih
dahulu telah mempertimbangkan bahwa usia kematangan jiwa antara terpidana
dewasa berbeda dengan terpidana anak dengan ciri khas yang masih bersifat labil
dan belum memiliki kematangan jiwa, sehingga terhadap terpidana anak perlu
diterapkan metode pendekatan yang tepat dan terbaik bagi pertumbuhan dan
perkembangan mental anak tersebut.
2.
Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-Haknya
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai Anak
Didik Pemasyarakatan, yaitu :
a.
Anak Pidana.
Anak pidana adalah anak yang berdasarkan
putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun;
b.
Anak Negara.
Anak negara adalah anak yang berdasarkan
putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di
Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.
Anak Sipil.
Anak sipil adalah anak yang atas permintaan
orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas
Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan
tersebut, berdasarkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 36 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, masing-masing
jenis Anak Didik Pemasyarakatan memiliki hak yang hampir sama, yaitu :
a.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b.
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.
Menyampaikan keluhan;
f.
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g.
Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya;
h.
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
i.
Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sedangkan untuk perbedaan hak dari ketiga
jenis Anak Didik Pemasyarakatan itu, adalah :
a.
Anak Negara mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan :
1)
Pembebasan bersyarat;
2)
Cuti menjelang bebas.
b.
Anak Pidana mempunyai penambahan hak untuk mendapatkan :
1)
Pembebasan bersyarat;
2)
Cuti menjelang bebas;
3)
Pengurangan masa pidana (remisi).
Dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 juga diatur mengenai hak anak yang ditempatkan di Lapas, meliputi
hak untuk memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan tersebut kemudian dicantumkan secara lebih jelas mengenai
hak-hak Anak Pidana, Anak Negara, serta Anak Sipil dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
3.
Pembinaan Narapidana Anak
Metode pembinaan atau bimbingan narapidana
anak, sebagai berikut :
a.
Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan antara
pembinaan dengan yang dibina.
b.
Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah
lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil diantara sesama mereka
sehingga menggugah hatinya untuk hal-hal yang terpuji. Dengan menempatkan anak
didik pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri
dengan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lain.
c.
Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis.
d.
Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang
disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.
e.
Pendekatan individual dan kelompok.
f.
Untuk menambah kesungguhan, keikhlasan, dan tanggung jawab melaksanakan
tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan dalam pengabdian terhadap
negara, hukum, dan masyarakat. Petugas pemasyarakatan sebaiknya memiliki kode
perilaku dan dirumuskan dalam bentuk “Etos Kerja”, yang berisi petugas Pemasyarakatan adalah abdi hukum, pembina
narapidana atau anak didik dan pengayom pelaksanaan tugas, bertekad menjadi
suri tauladan dalam mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan
Pancasila.
Walaupun proses pemasyarakatan yang
dilakukan dengan menjalankan pembinaan terhadap terpidana anak telah diupayakan
memenuhi dan sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam perundang-undangan,
serta memperhatikan hak terpidana dan didasarkan dengan asas-asas pembinaan
yang tepat dan terbaik bagi anak, serta dilaksanakan dengan metode pendekatan
yang telah memperhatikan kepentingan anak, namun dalam kenyataannya tetap akan
memberikan citra negatif bagi anak, terutama bagi kepentingan perkembangan dan
pertumbuhan jiwa anak, semestinya penjatuhan pidana terhadap anak benar-benar
harus bersifat ultimum remidium atau sebagai upaya terakhir apabila cara-cara
lain memang sudah tidak ada yang dipandang tepat.
Mengingat anak merupakan bagian dari
generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh,
serasi, selaras, dan seimbang.
Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana
yang mendukung keberhasilan negara dalam menjadikan narapidana menjadi anggota
masyarakat yang baik. Lembaga Pemasyarakatan Anak ikut berperan dalam pembinaan
narapidana yang mempunyai tugas untuk memperlakukan narapidana agar menjadi
baik.
Dalam pembinaan itu, yang perlu dibina
adalah pribadi narapidana dengan membangkitkan rasa harga diri dan
mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang
tenteram dan sejahtera dalam masyarakat sehingga setelah mereka keluar dari
Lapas bisa menjadi manusia yang berpribadi baik dan bermoral tinggi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami paparkan di
atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
ü Pengertian anak adalah bervariatif, dimana hal tersebut dilihat
dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak
tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari
pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah
seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan
bimbingan untuk kedepannya.
ü Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah
mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, yaitu :
a.
Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
b.
Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
ü Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Pemasyarakatan.
1)
Guna melaksanakan pemasyarakatan dan sistem pemasyarakatan tersebut
dilakukan oleh suatu lembaga, yaitu Lapas yang merupakan tempat untuk
melaksanakan pembinaan NAPI dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 angka 3
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Mengacu ketentuan
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Bab VI dengan
judul Lembaga Pemasyarakatan Anak Pasal 60, menentukan:
a.
Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lapas Anak harus terpisah dari
orang dewasa.
b.
Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya
serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai Anak Didik Pemasyarakatan,
yaitu :
a.
Anak Pidana.
b.
Anak Negara.
c.
Anak Sipil.
Dari ketiga jenis Anak Didik Pemasyarakatan
tersebut, berdasarkan Pasal 22 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) serta Pasal 36 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, masing-masing
jenis Anak Didik Pemasyarakatan memiliki hak yang hampir sama, yaitu :
a.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b.
Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.
Menyampaikan keluhan;
f.
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g.
Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu
lainnya;
h.
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
i.
Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3)
Metode pembinaan atau bimbingan narapidana anak, sebagai berikut :
a.
Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan antara
pembinaan dengan yang dibina.
b.
Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah
lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil diantara sesama mereka
sehingga menggugah hatinya untuk hal-hal yang terpuji. Dengan menempatkan anak
didik pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri
dengan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lain.
c.
Pembinaan berencana secara terus menerus dan sistematis.
d.
Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang
disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.
e.
Pendekatan individual dan kelompok.
f.
Untuk menambah kesungguhan, keikhlasan, dan tanggung jawab melaksanakan
tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan dalam pengabdian terhadap
negara, hukum, dan masyarakat. Petugas pemasyarakatan sebaiknya memiliki kode
perilaku dan dirumuskan dalam bentuk “Etos Kerja”.
B.
Saran
Dari kesimpulan di atas maka kami selaku
penulis dapat memberikan saran, yakni :
1.
Karakteristik anak berbeda dari orang dewasa, baik jasmani, rohani
maupun sosial. Misalnya, belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, akal
yang belum sempurna, belum dapat membedakan yang benar dan salah, baik dan
buruk, serta belum matang dan stabil. Oleh karena itu apabila seseorang anak
melakukan tindak pidana maka tidak hanya dilihat sifat jahat dan akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan, tetapi diperhatikan juga kondisi
dan latar belakang melakukan tindak pidana tersebut.
2.
Apapun dan bagaimanapun kondisi anak, tetap membutuhkan perlindungan dan
perhatian guna meningkatkan, mengembangkan dirinya sebagai generasi penerus dan
menjadi manusia yang berkualitas. Walaupun anak telah melakukan tindak pidana
maka perlindungan dan perhatian terhadapnya serta upaya pembinaan (pola
pembinaan) harus menjadi tanggung jawab bersama secara integral dan tidak hanya
seolah-olah menjadi tanggung jawab Lapas Anak saja. Oleh karena itu,
sosialisasi dan diseminasi informasi harus terus dilakukan guna meningkatkan
partisipasi semua pihak dalam melaksanakan pola pembinaan secara terpadu.
3.
Agar pelaksanaan pembinaan terhadap anak pidana dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, maka petugas diberi kesempatan untuk menambah ilmunya
melalui pelatihan atau penataran yang diadakan oleh kementerinan hukum dan HAM.
Mengangkat petugas petugas seperti : dokter, psikiater, sosiolog, krimonolog,
dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan dalam pembinaan.
DAFTAR PUSTAKA
v http://imadiklus.googlecode.com/files/11
gasty R Pola Pembinaan NAPI Anak sebagai Salah Satu Upaya.pdf
v http://repository.unand.ac.id/17030/1/RESOSIALISASI_NARAPIDANA_ANAKBERKAITAN_DENGAN_EFEKTIVITAS_POLA_PEMBINAAN_NARAPIDANA.pdf
v
http://www.kumham-jogja.karya-ilmiah-lainnya.perlindungan-hak-hak-anak-pelaku-kejahatan-dalam-proses-peradilan-pidana
v
http://aminhamid09.wordpress.com/2012/11/15/perlindungan-hukum-terhadap-anak-pada-tahap-penyidikan/
Komentar