PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI INDONESIA ABSTRAK
Perlindungan hukum bagi anak, merupakan
salah satu sisi perlindungan anak. Hukum Perlindungan anak merupakan jaminan
pelaksanaan hak-hak anak di bidang hukum. Perlindungan anak secara yuridis
merupakan upaya yang ditujukan untuk mencegah agar anak tidak mengalami
perlakuan salah (child abused) baik langsung maupun tidak langsung, menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak dengan wajar, baik fisik, mental dan
sosial.
ABSTRACT
Law protection of the child is one kind of
protection of the child. Law protection of the child is guarantee of
realization of the rights of the child in law. Law protection of tehe child is
legal remedy that aims to prevent direct or indirect child abused ang to
guarantee the performance and established child’s life properly, include physical,
mental and social.
I. PENDAHULUAN
Anak dalam masyarakat merupakan pembawa
kebahagiaan, hal ini dapat dibuktikan dalam setiap upacara pernikahan, terdapat
doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua mempelai dikaruniai anak.
Seperti halnya pada masyarakat hukum adat Batak, ditemukan pepatah yang bunyinya
sebagai berikut :
“Bintang na rumiris tu ombun na sumorop, anak pe antong riris, boru
pe torop.”
Dari pepatah tersebut di atas dapat
diketahui bahwa masyarakat hukum adat Batak menghendaki keturunan yang banyak
seperti bintang di langit yang jumlahnya tidak terhitung.
Dalam masyarakat, anak yang lahir
diharapkan bukan menjadi preman, pencuri atau pencopet ataupun gepeng
(gelandangan pengemis), tetapi diharapkan menjadi anak yang berguna bagi
keluarga di masa datang, yaitu menjadi tulang punggung keluarga, pembawa nama
baik keluarga, bahkan juga harapan nusa dan bangsa yang menjadi penerus
perjuangan bangsa. Hal ini tercermin dalam dalam pepatah antara lain sebagai
berikut :
“Tangki jala ualang, galingging jala garege; sai tubu ma di hamu anak
partahi jala ulu balang, dohot angka boru na mora jala pareme.”
“Manggoreng di balanga, mardisir, mardosor, Sai tubu ma di hamu angka
boru na gabe sarjana, dohot angka anak na gabe profesor.”
Pepatah tersebut di atas merupakan ungkapan
suatu harapan agar mempelai dikaruniai anak laki-laki yang menjadi pimpinan dan
tentara (ulu balang), dan dikaruniai anak perempuan, yang menjadi orang kaya.
Juga diharapkan agar kedua mempelai dikaruniai anak perempuan yang menjadi
sarjana dan anak laki-laki yang menjadi profesor. Hal ini merupakan salah satu
penyebab tekad yang kuat bagi orang Batak untuk menyekolahkan anak-anaknya
setinggi-tingginya, di samping bahwa bagi orang Batak anak merupakan kekayaan
yang tertinggi yang paling berharga (tercermin dalam kata “anakhon hi do
hamoraon di ahu.” ).
Memelihara kelangsungan hidup anak adalah
tanggung jawab orang tua, yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No.1 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak yang
bersangkutan dewasa atau dapat berdiri sendiri. Orang tua juga merupakan yang
pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara
rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak).
Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1979 menentukan
bahwa anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara
atau orang atau badan. Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa anak
yang tidak mempunyai orang tua dapat diasuh oleh wali melalui perwalian, oleh
orang tua angkat melalui pengangkatan anak (adopsi) dan dapat diasuh di panti
asuhan yang dikelola oleh pihak swasta maupun pemerintah.
Berkaitan dengan perwalian, Pasal 50 ayat 1
UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Wali wajib mengurus anak
yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan
menghormati agama dan kepercayaan anak itu (Pasal 51 ayat 3 UU No. 1 Tahun
1974). Menyangkut pengangkatan anak, Pasal 12 ayat (1) UU No.4 Tahun 1979
menentukan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan
dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk
kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan,
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 ayat 3 UU No. 4
Tahun 1979). Berkaitan dengan panti asuhan, Pasal 11 ayat (3) UU No. 4 Tahun
1979 menentukan bahwa usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah
dan atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar panti.
Setiap orang yang melakukan pemeliharaan
anak harus memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya, yang merupakan hak-hak
anak-anak peliharaannya. Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 menentukan bahwa hak-hak
anak berupa : kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan, pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, pemeliharaan dan perlindungan
baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya. Hak
anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (Pasal 52 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia). Bila ditelusuri dengan teliti, rasa kasih sayang
merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan anak,
yang sesungguhnya bersandar pada hati nurani orang tua. Dalam kenyataannya
banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini, sehingga memberikan pengaruh
negatif terhadap perkembangan kehidupan anak. Sehubungan dengan hal ini dapat
diketahui juga bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam suasana konflik cenderung
akan mengalami keresahan jiwa, yang dapat mendorong anak melakukan
tindakan-tindakan negatif, yang lazim dikategorikan sebagai kenakalan anak.
Anak-anak melakukan kenakalan, tidak terlepas dari latar belakang kehidupannya
dan timbulnya kenakalan anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat, tetapi juga bahaya yang dapat mengancam masa depan
bangsa dan negara. Atas dasar ini, anak perlu dilindungi dari
perbuatan-perbuatan yang merugikan agar anak sebagai generasi penerus bangsa
tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan negara.
Arif Gosita mengatakan bahwa anak wajib
dilindungi agar tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau
kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Yang dimaksud dengan menjadi korban adalah menjadi
korban menderita kerugian (mental, fisik, sosial), oleh sebab tindakan yang
pasif, aktif orang lain atau kelompok (swasta atau pemerintah) baik langsung
maupun tidak langsung.1
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi
diri sendiri terhadap berbagai macam ancaman mental, fisik, sosial dalam
berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain
dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Khususnya dalam
pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat
perlindungan terhadap penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan
terhadap dirinya yang dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial,
perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan anak secara hukum
(yuridis).
Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota-anggota masyarakat, dan tujuan hukum itu adalah mengadakan keselamatan,
kebahagiaan, dan tata tertib di dalam masyarakat. Masing-masing anggota
masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, sehingga anggota-anggota masyarakat
di dalam memenuhi kepentingannya tersebut mengadakan hubungan-hubungan, dan
hubungan-hubungan ini diatur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan di dalam
kehidupan masyarakat. Jika seorang atau beberapa orang melakukan pelanggaran
hukum maka terjadi keguncangan keseimbangan, karena pelanggaran hukum tersebut
dapat mendatangkan kerugian bagi pihak lain. Untuk menciptakan kembali
keseimbangan di dalam masyarakat, diadakan sanksi, yaitu sanksi administrasi
dalam bidang hukum tata negara, sanksi perdata dalam bidang hukum perdata, dan
sanksi pidana dalam bidang hukum pidana. Dalam pelaksanaannya apabila sanksi
administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai keseimbangan di
dalam masyarakat, maka sanksi pidana merupakan sanksi terakhir atau ultimum
remedium.2
II. Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Negara
Hukum
Konsep negara hukum yang menganut paham “rule of law,” menurut
Dicey mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
(1) hak asasi manusia dijamin lewat
Undang-undang,
(2) persamaan di muka hukum (equality
before the law),
(3) supremasi aturan-aturan hukum dan tidak
ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.
Menurut Emanuel Kant dan Julius Stahl
negara hukum mengandung 4 (empat) unsur, yaitu :
(1) adanya pengakuan hak asasi manusia,
(2) adanya pemisahan kekuasaan untuk
menjamin hak-hak tersebut,
(3) pemerintahan berdasarkan
peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur),
(4) adanya peradilan tata usaha negara.3
A. Gunawan Setiardja mengatakan bahwa dalam
negara-negara yang demokratis terdapat ciri-ciri khas :
a. adanya pemilihan umum yang bebas dan
rahasia;
b. adanya dua atau lebih partai politik;
c. kebebasan untuk menyatakan pendapat
dalam batas-batas yang cukup luas;
d. HAM dihargai dan dijunjung tinggi;
e. kekuasaan para penguasa tidak tak
terbatas.4
Dalam hukum diatur rambu-rambu sebagai
berikut :
1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang
lain (respects for the rights and freedoms of others);
2. Menghormati aturan-aturan moral yang
diakui oleh umum (the generally accepted moral code);
3. Menghormati ketertiban umum (public
order);
4. Menghormati kesejahteraan umum (general
welfare);
5. Menghormati keamanan umum (public
safety);
6. Menghormati keamanan nasional dan
keamanan masyarakat (national and social security);
7. Menghormati kesehatan umum (public
health);
8. Menghindarkan penyalahgunaan hak (abuse
of right);
9. Menghormati asas-asas demokrasi;
10. Menghormati hukum positif.5
Dalam hukum juga diatur asas-asas yang
merupakan pembatas pengaturan hak dan kewajiban warganegara yang paling sedikit
sebagai berikut :
1. Asas legalitas;
2. Asas negara hukum;
3. Asas penghormatan terhadap martabat
kemanusiaan;
4. Asas bahwa segala pembatasan HAM
merupakan perkecualian;
5. Asas persamaan dan non diskriminasi;
6. Asas non-retroaktivitas (peraturan tidak
berlaku surut);
7. Asas proporsionalitas.6
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak
yang melekat pada Manusia yang mencerminkan martabatnya. Hak-hak yang melekat
pada manusia harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak hanya dapat efektif
apabila hak-hak itu dapat dipertahankan dan dilindungi hukum. Mempertahankan
dan melindungi hak-hak dapat terjamin, apabila hak-hak itu merupakan bagian
dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi
hak-hak tersebut. Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari hak-hak asasi
manusia, sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh
hak-hak asasi manusia yang dikandung dan diatur atau dijamin oleh hukum itu.
Negara hukum pada pokoknya berarti bahwa tertib masyarakat dan tertib negara
dijamin dengan adanya peraturan hukum. Hukum mempunyai peranan untuk
menciptakan kedamaian, dan kedamaian ini merupakan konsep yang menjamin
keselarasan antara ketertiban yang bersifat lahiriah dan ketenteraman yang
bersifat batiniah. Hukum tidak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan
semata-mata, tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap hak-hak
warganegara.7
Hukum yang berlandaskan nilai-nilai
kemanusiaan mencerminkan norma-norma yang menghormati martabat manusia dan
mengakui hak asasi manusia. Norma-norma yang mengandung nilai-nilai luhur yang
menjunjung tinggi martabat manusia dan menjamin hak asasi manusia, berkembang
terus sesuai dengan tuntutan hati nurani manusia yang terhimpun dalam ikatan
perkumpulan masyarakat yang bertindak berdasarkan kepentingan sosial atau
kepentingan dualistis. Teknik perumusan hak asasi manusia di dalam
undang-undang pada umumnya bersifat motivatif untuk landasan bekerjanya para
petugas hukum. Hak asasi manusia tidak dirumuskan secara khusus, akan tetapi
implisit tersimpul dalam pasal-pasal undang-undang sesuai dengan jiwa yang
terkandung dari konsideran dan penjelasan undang-undang.8
Pemerintah (negara) dalam hal ini para
penegak hukum sebagai wakil yang sah memperlakukan kedua macam individu
tersebut, harus memperhatikan hak-haknya, sebagaimana dijamin oleh hukum.9
Perlindungan hak-hak individu yang
dijabarkan secara tegas dalam konstitusi, undang-undang, berbagai peraturan dan
jurisprudensi yang diikuti dengan pelaksanaan dan pengawasan serta tindakan
yang tegas terhadap oknum penegak hukum yang menyeleweng akan berpengaruh
terhadap perilaku yang baik, tegas dan bertanggungjawab pada tubuh para aparat
penegak hukum dalam proses administrasi peradilan pidana, sehingga perwujudan “keadilan
sejati” yang
didambakan dan merupakan citra masyarakat, relatif dapat tercermin dalam sikap
perilaku pribadi-pribadi pelaksana penegakan hukum yang terdiri dari polisi,
jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan dan rehabilitasi sosial serta
tentunya dalam perkembangan ke arah perlindungan hak-hak pribadi yang lebih
meluas juga peran profesi hukum pada umumnya terutama advokat dan pengacara,
merupakan pula penegak hukum yang besar perannya.10
Dalam proses hukum yang melibatkan anak
sebagai subyek delik, tidak mengabaikan masa depannya dan tetap menegakkan
wibawa hukum demi keadilan.11
Kesejahteraan anak itu penting karena :
a. Anak adalah potensi serta penerus
cita-cita bangsa yang landasannya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya;
b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung
jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang
secara wajar;
c. Bahwa di dalam masyarakat terdapat pula
anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan
ekonomi;
d. Anak belum mampu memelihara dirinya;
e. Bahwa menghilangkan hambatan tersebut
hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak
terjamin.12
III. Perlindungan Anak
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan
Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain
peraturan perundang-undangan lain pula kriteria anak. Ketidaktegasan peraturan
hukum/peraturan perundang-undangan dalam mengatur kriteria anak, dapat
menimbulkan korban struktural (viktimisasi struktural), yaitu anak menjadi
korban ketidakjelasan atau ketidaktegasan hukum/peraturan perundang-undangan.
Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai
umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Pasal 1 ayat (1) UU Pokok Perburuhan (UU
No. 12 Tahun 1948) menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur
14 tahun ke bawah.
Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan
belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan beridiri sendiri belum
terlepas dari tanggung jawab orang tua.13
Hukum Adat menentukan bahwa ukuran
seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah:
dapat bekerja sendiri; cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan
masyarakat; dapat mengurus kekayaan sendiri.14
Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah
umur adalah yang belum akil baliq.15
Menurut Hukum Islam batas umur seseorang
belum atau sudah dewasa (minderiarig), apabila ia belum berumur 15 (lima belas)
tahun kecuali apabila sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk
bersetubuh (geslachtssrijp) tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan)
tahun.16
Menurut Zakariya Ahmad Al Barry, dewasa
maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki
dewasa pada putera, muncul tanda-tanda wanita dewasa pada puteri. Inilah dewasa
yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putera berumur 12 (dua belas)
tahun dan puteri berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak mengatakan bahwa
dia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang mengalami.
Kalau sudah melewati usia tersebut di atas tetapi belum nampak tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa ia telah dewasa, harus ditunggu sampai ia berumur 15 (lima
belas) tahun.17
Para sarjana lain mengemukakan pengertian
anak, antara lain:
1. Sugiri:
Selama di tubuhnya berjalan proses
pertumbuhan dan perkembangan, orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi
dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur
anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas)
tahun untuk wanita dan 20 (dua puluh) tahun untuk laki-laki, seperti halnya di
Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara Barat lainnya.18
2. Zakiah Drajat:
Mengenai batas usia anak-anak dan dewasa
berdasarkan pada usia remaja adalah bahwa masa usia 9 (sembilan) tahun antara
13 (tiga belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun sebagai masa remaja
merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, dimana
anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan
lagi anak-anak baik bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak, tetapi
bukan pula orang dewasa.19
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2
(dua) bagian yaitu: perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi:
perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan;
perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam
bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.
1. Pengertian Perlindungan Anak
Di dalam seminar perlindungan anak/remaja
oleh Prayuana Pusat tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang
perlindungan anak yaitu :
a. segala daya upaya yang dilakukan secara
sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
b. Segala daya upaya bersama yang dilakukan
secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan
swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan
jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan
hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal
mungkin.20
Perlindungan anak dapat juga diartikan
sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan
memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused),
dieksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjaminkelangsungan hidup dan
tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental dan sosialnya.21
Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan
anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.22
Perlindungan anak ini bermanfaat bagi anak
dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan
anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan
anak secara keseluruhan.23
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:
1. Dasar Filosofis, Pancasila dasar
kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara,
dan berbangsa, Pancasila menjadi dasar filosofi pelaksanaan perlindungan anak.
2. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan
anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku
menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam
pelaksanaan perlindungan anak.
3. Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan
anak harus didasarkan atas UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya yang berlaku. Penerapan dasar-dasar yuridis ini harus secara
integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang hukum yang berkaitan. Apabila masih belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah tertentu, maka sebaiknya diterapkan
Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970, yaitu yang menyinggung masalah hukum, hakim dan
yurisprudensi. Sebaiknya ini diterapkan untuk mengatasi dengan segera
permasalahan pelaksanaan perlindungan anak.24
Perlindungan anak dapat dilakukan secara
langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya
langsung ditujukan kepada anak, dapat dilakukan dengan cara melindungi anak
dari berbagai ancaman dari luar dan dalam dirinya, mendidik, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah anak kelaparan dan mengusahakan
kesehatannya, menyediakan sarana pengembangan diri, dan sebagainya. Sedangkan perlindungan
anak secara tidak langsung, tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang
lain yang terlibat dalam usaha perlindungan anak, seperti orang tua atau yang
terlibat dalam perlindungan anak, yang bertugas mengasuh, membina, mendampingi
anak; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan,
mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak; mereka yang terlibat
dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang adil.
2. Prinsip-prinsip Perlindungan Anak
a) Anak tidak dapat berjuang
sendiri/ketidakberdayaan anak; Anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia,
bangsa dan keluarga. Untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Ironisnya ialah
bahwa anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya. Karena negara dan
masyarakat berkepentingan akan mutu warganya dan dengan demi nasib bangsanya,
maka negara harus dapat ikut campur dalam urusan perlindungan hak-hak anak.
b) Kepentingan terbaik anak/The best
interest of the child; Kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of
paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan
yang menyangkut anak. Prinsip the best interest of the child digunakan karena
dalam banyak hal anak menjadi “korban”, karena ketidaktahuan (ignorance) karena usia perkembangannya. Jika
prinsip ini diabaikan, maka masyarakat akan menciptakan monster-monster yang
lebih buruk di kemudian hari.
c) Pendekatan daur kehidupan (life-circle
approach); Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus
dimulai sejak dini dan terus menerus. Perlindungan anak dimulai sejak anak
berada dalam kandungan, setelah ia dilahirkan, pada masa-masa pra sekolah, masa
sekolah, masa transisi ke dewasa perlu diperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak,
baik pisik maupun psikis.
d) Lintas Sektoral; Perlindungan terhadap
anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua
tingkatan.25
3. Hukum Perlindungan Anak
Definisi Hukum Perlindungan Anak menurut
beberapa pakar hukum dapat dilihat sebagai berikut :
a. Arif Gosita:
Hukum Perlindungan Anak adalah hukum
(tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya.26
b. Bismar Siregar:
Aspek Hukum Perlindungan Anak, lebih
dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat
secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.27
c. J.E. Doek dan Mr. H.M.A. Drewes:
Memberi pengertian jengdrecht (hukum anak
muda) dalam 2 (dua) pengertian, masing-masing pengertian luas dan pengertian
sempit.
Dalam pengertian luas : segala aturan hidup
yang memberi perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi
kemungkinan bagi mereka untuk berkembang.
Dalam pengertian sempit : meliputi
perlindungan hukum yang terdapat dalam : ketentuan hukum perdata (regels van
civiel recht), ketentuan hukum pidana (regels van strafrecht), ketentuan hukum
acara (procesrechtelijke regels).28
Berdasarkan pengertian tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa hukum perlindungan anak menjamin hak-hak dan kewajiban
anak yang dapat berupa: hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara
perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak.
Kebutuhan terhadap perlunya perlindungan
hukum bagi anak dapat mencakup berbagai bidang/aspek, antara lain:
a) perlindungan terhadap hak-hak asasi dan
kebebasan anak;
b) perlindungan anak dalam proses
peradilan;
c) perlindungan kesejahteraan anak (dalam
lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial);
d) perlindungan anak dalam masalah
penahanan dan perampasan kemerdekaan;
e) perlindungan anak dari segala bentuk
eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi),
perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan
kejahatan dan sebagainya);
f) perlindungan terhadap anak-anak jalanan;
g) perlindungan anak dari akibat-akibat
peperangan/konflik bersenjata;
h) perlindungan anak terhadap tindakan
kekerasan. 29
IV. Hak-hak Anak
Landasan Hak Asasi Manusia itu adalah:
landasan yang langsung dan yang pertama yaitu: kodrat manusia dan landasan yang
kedua dan yang lebih dalam yaitu:
Tuhan sendiri, yang menciptakan manusia.
Hak merupakan alat yang memungkinkan warga
masyarakat dengan bebas mengembangkan bakatnya untuk penunaian tugasnya dengan
baik. Kemungkinan kesempatan ini harus diselenggarakan oleh negara dengan jalan
membentuk kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum. Kaidah-kaidah hukum
yang memberikan kemungkinan kepada para anggota masyarakat untuk mengembangkan
bakatnya lebih bermanfaat bagi perkembangan hukum dan demi tercapainya tertib
hukum.30
Hak Asasi Manusia secara umum dapat dibagi
menjadi dua kategori:
1. Hak-hak yang hanya dimiliki oleh para
warga negara dari negara yang bersangkutan (hak-hak warga negara).
2. Hak-hak yang pada dasarnya dimiliki
semua yang berdomisili di negara yang bersangkutan.31
Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM menentukan:
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pendirian bangsa Indonesia mengenai hak-hak
asasi manusia berlandaskan sila II : Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang dijiwai
dan dilandasi oleh sila-sila lainnya. Maksudnya adalah Hak Asasi Manusia itu
harus :
1. Sesuai dengan kodrat manusia. Pada hal
menurut kodratnya, manusia itu adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial.
2. Hak-hak asasi manusia harus dihargai dan
dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya setiap orang dan golongan hendaknya
memperoleh haknya.
3. Tidak tanpa arti adanya istilah “dan beradab.” Maksudnya
ialah: Hak-hak asasi yang diterima dan dijunjung tinggi itu tidak tanpa batas.
Batasnya adalah:
a. penggunaan hak-hak asasi manusia itu
harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sila I).
b. harus meningkatkan persatuan dan
kesatuan bangsa (Sila III)
c. harus tetap dalam suasana dan iklim yang
demokratis (Sila IV)
d. harus menunjang kesejahteraan umum (Sila
V)
e. Hak-hak asasi manusia oleh tujuan-tujuan
negara kita: untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum, untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.32
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 20 Nopember 1989 telah menyetujui Konvensi Hak-hak anak, yang
diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Menurut ketentuan tersebut hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum adalah :
a. Peninjauan periodik atas anak yang
ditempatkan dalam pengawasan negara yang karena alasan pengawasan, perlindungan
dan penyembuhan (Pasal 25);
b. Larangan penyiksaan, perlakuan atau
hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan
semena-mena atau perampasan kebebasan anak (Pasal 37);
c. Hak anak yang didakwa ataupun diputuskan
telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya
untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum lainnya
dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan
institusional sedapat mungkin dihindari (Pasal 40);
d. Memperhatikan hak-hak anak yang
berkonflik dengan hukum (Children in conflict with the law), seperti: prosedur
peradilan anak (Pasal 40);
Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak; Pasal 2 menentukan :
a. Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya
maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;
b. Anak berhak atas pelayanan untuk
mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna;
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
Pasal 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menentukan :
1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan
sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman-hukuman yang tidak
manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup
tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum.
4. Penangkapan, penahaan, atau pidana
penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
5. Setiap anak dirampas kebebasannya berhak
mendapat perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang
dewasa, kecuali demi kepentingannya.
6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya
berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya
berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
V. Penutup
Kekuasaan kehakiman melalui badan peradilan
berkedudukan sebagai lembaga negara ”in guardig the freedom of society (penjaga kemerdekaan anggota
masyarakat). Dalam hal ini peradilan bertindak mengembangkan atau melindungi
HAM :
a. Mengambil langkah (to take step) membela
dan melindungi HAM,
b. Menjamin atau “guarantee” perlindungan HAM setiap anggota
masyarakat,
c. Mengakui (to recognize) setiap nilai HAM
yang melekat pada setiap individu dan kelompok masyarakat,
d. Menghormati (to respect for) setiap HAM
yang melekat pada setiap individu dan kelompok masyarakat,
e. Meningkatkan (to promote) kualitas dan
perlindungan HAM dalam segala bidang kehidupan.33
Negara yang sudah maju mempunyai susunan
hukum acara pidana yang berciri untuk menyelenggarakan proses perkara pidana
dengan cepat, sederhana dan biaya murah. Proses perkara pidana yang dilaksanakan
dengan cepat diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural,
agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai dengan
penerapan keputusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat.
Proses perkara pidana yang sederhana diartikan penyelenggaraan administrasi
terpadu agar pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang
berjalan dalam satu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran bekerja
(circuit court) secara berbelit-belit, dan dari dalam berkas tersebut terungkap
pertimbangan serta kesimpulan penerapan hukum yang mudah dimengerti oleh pihak
yang berkepentingan. Proses perkara pidana dengan biaya yang murah diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas
yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social
cost) yang tidak sebanding, yaitu biaya yang dikeluarkan lebih besar dari hasil
yang diharapkan lebih kecil.34 Proses perkara pidana dengan cepat, sederhana
dan biaya murah dapat diwujudkan dengan bantuan sarana penunjang yang berupa :
a. kerjasama yang koordinatip dan tindakan
yang sinkron di antara para petugas;
b. membentuk badan koordinasi yang bersifat
fungsional untuk pengawasan;
c. proses verbal interogasi dan surat
tuduhan disusun dengan singkat dan mudah dimengerti;
d. meningkatkan diferensiasi jenis
kejahatan atau perkara disertai intensifikasi pembidangan tugas penyelesaian
perkara.35
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad, Rotiq. 1997. Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al Barry, Ahmad. T.t. Hukum Anak-anak Dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Atmasasmita, Romli. 1984. Problema
Kenakalan Anak-anak dan Remaja. Bandung: Armico.
-------------------------. 1996. Sistem
Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Jakarta:
Binacipta.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat
Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung: Armico.
------------------------------- 1984. Ruang
Lingkup Kriminologi. Bandung: Remadja Karya. 1984.
Drajat, Zakiah. 1983. Kesehatan Mental.
Jakarta: Inti Idayu Press.
Gosita, Arif. 1989. Masalah Perlindungan
Anak. Jakarta: Akademi Pressindo.
Gultom, Maidin. 1997. Aspek Hukum
Pencatatan Kelahiran Dalam Usaha Perlindungan Anak Pada Kantor Catatan Sipil
Kotamadya Medan. Thesis, Medan: Program Pascasaraja U.S.U.
Hadikusuma, Hilman. 1993. Hukum Adat Dalam
Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan
Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Purnomo, Bambang, Pandangan Terhadap
Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1982, hlm. 10-11.
Prodjodikoro, Wirjono. 1989.Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco.
Setiardja, A. Gunawan. 1993. Hak-hak Asasi
Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.Yogyakarta: Kanisius.
Siregar, Bismar, dan Abdul Hakim G.
Nusantara, Suwantji Sisworahardjo, Arif Gosita, Mulyana W. Kusumah
(Penyunting). 1986. Hukum dan Hak-hak Anak. Jakarta: Rajawali.
Soemitro, Irma Setyowati. 1990. Aspek Hukum
Perlindungan Anak. Jakarta: BumiAkasara.
Wadong, Maulana Hassan. 2000. Pengantar
Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wahjono, Agung dan Siti Rahayu. 1993.
Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyadi.
1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Komentar