PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA ANAK DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
ABSTRACT
Exploitation of child labor still occurs in
Indonesia. Poverty and weak legal protection of children is one contributing
factor. Therefore this paper aims to examine the factors that cause the
emergence of child labor, child rights and legal protection for child workers,
and prevention of child labor in Indonesia. The results of this study indicate
that the occurrence of child labor is influenced by various social factors such
as poverty and economic. Protection of child labor has been arranged in the
formulation of laws and International Conventions ratified by Indonesia. Various
efforts have been made to overcome the problem of child labor, but the
government's effort is not maximized as expected.
Keyword: Exploitation, child labor, and
International Conventions
PENDAHULUAN
Anak adalah merupakan harta yang tak
ternilai harganya, tidak saja dilihat dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi,
politik, hukum, tetapi juga dalam perspektif keberlanjutan sebuah generasi
keluarga, suku, trah, maupun bangsa. Mengingat pentingnya status dan posisi
anak tersebut Sri Purnianti dan Martini (2002:5)berpendapat bahwa anak dapat
bermakna sosial (kehormatan harkat martabat keluarga tergantung pada sikap dan
perilaku anak), budaya(anak merupakan harta dan kekayaan sekaligus merupakan
lambang kesuburan sebuah keluarga), politik (anak adalah penerus trah atau suku
masyarakat tertentu), ekonomi (pada sementara anggapan masyarakat Jawa
khususnya ada adagium ‘banyak anak banyak rejeki, sehingga ‘mengkaryakan’ atau
memperkerjakan anak dapat menambah penghasilan atau rejeki), hukum(anak
mempunyai posisi dan kedudukan strategis didepan hukum).
Berdasarkan data dari BPS pada bulan
Oktober 2000, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun tercatat sebanyak 2,05 juta,
dan terus turun hingga pada Oktober 2005 menjadi 1,64 juta jiwa. Setelah
krisis, pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 1,81 juta dan pada tahun
2007 mencapai angka 2,21 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2008 mencapai angka
5,75 juta jiwa. Jumlah tersebut akan jauh lebih besar jika dihitung pekerja
anak yang berusia dibawah 10 tahun dan diatas 14 tahun (Haryadi, 1995: 20).
Sedangkan potensi angka putus sekolah
akibat krisis, berdasarkan perkiraan Bappenas meningkat tajam, dari 2,8 juta
menjadi 8 juta pertahun (Haryadi, 1995: 22). Dan yang memprihatinkan, bersamaan
dengan makin tingginya kecenderungan anak putus sekolah, adalah kemungkinan
bertambahnya anak-anak usia sekolah yang terpaksa bekerja untuk membantu
ekonomi keluarga.
Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai
seperangkat peraturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak anak dan
mengurangi dampak bekerja dari anak, yaitu antara lain UUD 1945, ratifikasi
konvensi ILO nomor 138 menjadi Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 1999 tentang
usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, ratifikasi konvensi ILO nomor 182
menjadi UU nomor 1 tahun 2000 tentang Pelanggaran dan tindakan segera
penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, UU nomor 23 Tahun
2002tentang Perlindungan Anak dan UU nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan yang
melindungi pekerja anak, tetapi kecenderungan kualitas permasalahan pekerja
anak dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kompleksitas menuju
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang eksploitatif dan membahayakan pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental, moral, sosial dan intelektual anak. Jenis
pekerjaan terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, anak
yang diperdagangkan, anak bekerja di pertambangan, anak jermal dan lain-lain.
Pada tahun 1990-an mulai muncul isu anak jalanan (anjal), anak jermal, anak yang
bekerja di perkebunan. Pada tahun 1996 muncul isu pelacuran anak, anak yang
bekerja di pertambangan, nelayan. Sedangkan pada tahun 1998 muncul isu
perdagangan anak (Child trafficking) untuk dilacurkan, pembantu rumah tangga
anak dan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak lainnya (Wiryani, 2003: 3).
Berdasar latar belakang di atas, maka
tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentangfaktor-faktor penyebab timbulnya
pekerja anak,hak-hak anak dan perlindungan hukum bagi pekerja anak dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia,dan penanggulangan pekerja anak di
Indonesia. Kajian ini perlu dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan
otonomi daerah. Sebab esensi otonomi daerah adalah, pelayanan publik yang prima
dalam upaya mewujudkan peningkatan kesejahteraan lahir batin dari warga
masyarakat di daerah. Oleh karena itu, peraturan perundanganyang dibuat oleh
legislative maupun eksekutif di daerah, harus memperhtaikan aspek perlindungan
hak-hak pekerja anak di daerah. Sebab secara fenomenologis baik secara kultural
dan ekonomis tersebut, posisi pekerja anak sangat strategis dalam peningkatan
kesejahteraan lahir batin masyarakat di daerah. Dalam konteks ini, perubahan
paradigma proses pembuatan peraturan perundangan khususnya yang mengatur
pekerja anak, harus dirubah dari paradigma kapitalis menjadi paradigma
kesejahteraan lahir batin pekerja anak, dengan menempatkan pekerja anak menjadi
‘subyek’ dan bukan
menjadi ‘obyek’ yang dapat dieksploitasi oleh siapapun dan pihak manapun untuk
kepentingan kapital.
PEMBAHASAN
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pekerja
Anak
Faktor penyebab dan pendorong permasalahan
pekerja anak di Indonesia merupakan interaksi dari berbagai faktor di tingkat
mikro sampai makro, dari faktor ekonomi sosial budaya sampai pada masalah
politik. Adapun faktor-faktor penyebab dan pendorong permasalahan pekerja anak
menurut hasil penelitian Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK)
adalahsebagai berikut; pertama, kemiskinan. Rendahnya ekonomi keluarga
merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak-anak terlibat mencari nafkah.
Anak sering menjadi sumber penghasilan yang sangat penting. Bahkan dalam banyak
hal, pekerja anak dipandang sebagai mekanisme survival untuk mengeliminasi
tekanan kemiskinan yang tidak terpenuhi dari hasil kerja orangtua.
Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi
juga karena adanya dorongan untuk membantu meringankan beban orangtua, bekerja
untuk mendapatkan penghormatan dari masyarakat, juga keinginan menikmatihasil
usaha kerja, merupakan faktor-faktor motivasi pekerja anak. Akan tetapi sebab
terbesar yang mendorong anak-anak bekerja adalah tuntutan orangtua dengan
tujuan mendapat tambahan pemasukan bagi keluarga. Anak-anak seringkali tidak
dapat menghindar untuk tidak ikut terlibat dalam pekerjaan.
Faktor kemiskinan dianggap sebagai pendorong
utama anak untuk bekerja. Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan
terjadinya pekerja anak. Orang tua “terpaksa” memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi
keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah
peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama.Pekerja anak tidak hanya disebabkan
oleh kemiskinan, tetapi juga menyebabkan “pemiskinan”, artinya anak-anak yang bekerja
dan tidak mengecap pendidikan akan tetap hidup di dalam kondisi kemiskinan di
kemudian hari. Akibat lebih jauh, generasi berikutnya akan tetap miskin dan
tidak berpendidikan (Tadjhoedin, 1992: 68).
Kedua, urbanisasi. Daerah asal dari pekerja
anak yang mayoritas dari pedesaan juga merupakan salah satu faktor timbulnya
pekerja anak. Pedesaan yang dianggap tidak bisa memberikan jaminan perbaikan
ekonomi, maka banyak orang yang mengadu nasib ke kota-kota besar dengan harapan
dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi, tanpa kecuali para orangtua
yang terbelenggu masalah ekonomi mengajak anaknya untuk dipekerjakan, mulai
dijadikannya pengemis sampai pada buruh pabrik. Ketiga, sosial budaya. Fenomena
pekerja anak ini tidak terlepas dari realitas yang ada pada masyarakat, yang
secara kultural memandang anak sebagai potensi keluarga yang wajib berbakti
kepada orang tua. Anak yang bekerja justru dianggap sebagai anak yang berbakti
dan dapat mengangkat harkat dan martabat orang tua. Dengan budaya yang seperti
ini, maka posisi anak yang sebenarnya mempunyai hak dan wajib dilindungi
menjadi terabaikan.
Keempat, pendidikan. Alasan utama seorang
anak menjadi pekerja adalah karena keterbelakangan mereka untuk mengenyam
pendidikan. Satu hal yang paling bisa dilakukan oleh pemerintah mendatang
adalah melaksanakan program-program pendidikan berbiaya rendah dan
mengakomodasi kebutuhan keterampilan tertentu bagi anak. Sebab, selama ini
anak-anak "dipaksa" bekerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Upah
anak adalah salah satu sumber pemasukan keluarga.
Dengan pendidikan murah dan pemberian
keterampilan praktis, mereka diharapkan tidak lagi menganggap sekolah tidak
memberikan keuntungan apa-apa dan malah membuat kondisi keluarga makin
terpuruk.Diperlukan inovasi untuk membuat pendidikan menjadi hal yang diterima
di daerah yang menjadi kantong-kantong pekerja anak. Pendidikan yang diterapkan
tentu harus tidak sama dengan pendidikan yang diadakan di sekolah-sekolah
formal lain, yang orang tuanya dianggap mampu mencukupi kebutuhan keluarga
sehari-hari.Salah satu inovasi yang bisa dilakukan adalah memasukkan
keterampilan yang bisa "dijual". Sehingga, anak punya keterampilan
yang bisa mendatangkan pemasukan. Pekerjaan sampingan pun bisa dilaksanakan di
luar jam sekolah. Misalnya, lewat koperasi sekolah atau unit usaha sekolah. Untuk
mendukung itu, diperlukan juga balai latihan kerja yang memberikan pelatihan
dan dukungan dana bagi orang tua mereka.
Kelima, perubahan proses produksi.
Perkembangan jaman yang juga menuntut pada kecanggihan tekhnologi membuat
beberapa perusahaan dalam melakukann proses produksi menggunakan alat-alat
tekhnologi canggih. Sehingga banyak sekali pekerjaan yang seharusnya dikerjakan
oleh tenaga ahli menjadi lebih cepat selesai hanya dengan hitungan waktu yang
sangat singkat dikerjakan oleh sebuah alat. Yang tersisa hanyalah pekerjaan
kasar dan serabutan yang ternyata banyak anak yang diambil untuk dipekerjakan,
tentu saja dengan upah murah dan jaminan perlindungan kerja yang minim, karena
masih dianggap sebagai anak yang tidak mengetahuiapa-apa dan dituntut untuk
selalu menuruti aturan yang dibuat oleh perusahaan tempat bekerja. Keenam,
lemahnya pengawasan dan terbatasnya institusi untuk rehabilitasi. Adanya
peraturan untuk melakukan perlindungan pekerja anak tidak diimbangi dengan
pelaksaan dari aturan tersebut. Sehingga sangat dimungkinkan banyak sekali
masalah-masalah yang timbul pada pekerja anak yang tidak bisa terselesaikan
oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, di Indonesia masih sangat
kurang sekali lembaga-lembaga yang bisa melakukan rehabilitasi terhadap anak dapat
tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial
khususnya anak yang mempunyai masalah, antara lain anak yang tidak mempunyai
orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang
mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Usaha ini dimaksudkan memberikan
pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang
mempunyai masalah (Prinst, 2003: 84).
Hak-hak Anak dan Perlindungan Hukum bagi
Pekerja Anak dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Sudah banyak peraturan perundang-undangan
yang dibuat di Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang
bekerja, terutama anak yang masih dibawah umur. Selain daripada itu, juga
diatur perlindungan terhadap bentuk pekerjaan terburuk dari pekerja anak yang
ditegaskan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002, menkategorikan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dari pekerja anak.
Begitu seriusnya permasalahan pekerja anak
diatas, peraturan yang digunakan untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja
anak disamping ada yang merupakan upaya ratifikasi dari konvensi Internasional,
juga sebagian merupakan peraturan yang dibuat atas dasar dan inisiatif
pemerintah Indonesia. Namun demikian peraturan perundangan yang ada tersebut
secara substansiil sudah cukup memadai, akan tetapi secara implementatif masih
sangat jauh dari harapan.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999
tentang Ratifikasi 1LO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission
to Employment the Abolition of Forced Labour atau Konvensi ILO No. 138 Mengenai
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973. Konvensi ini telah
diadopsi oleh konferensi umum ILO pada tanggal 26 Juni 1973, dan Indonesia
telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999.
Konvensi ini sendiri, seperti yang tercantum dalam alenia keempat
pembukaannya,dimaksudkan untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai batasan
umur yang secara berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang
berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas. Hal ini karena sebelumnya memang
sudah ada rumusan tentang batasan umur minimal untuk bekerja, hanya saja
rumusan itu berbeda-beda untuk setiap jenis dan sektor kerja. Alenia keempat
pembukaan ini juga menyebutkan bahwa tujuan dari konvensi ini sendiri adalah
untuk menghapus anak sebagai pekerja pada kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Menurut Abu Hurairah (2006: 40) dalam rangka
perlindungan terhadap anak sebagai pekerja, konvensi memuat beberapa asas yang
antara lain; Asas penghapusan kerja anak, dirumuskan dalam Pasal 1 yang
mengamanatkan kepada setiap anggota untuk mengambil kebijakan secara nasional
untuk menjamin penghapusan kebijakan anak sebagai pekerja secara efektif.
Selain itu, setiap anggota diwajibkan untuk secara progresif menaikan usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai
dengan kebutuhan perkembangan fisik dan mental orang muda. Selanjutnya asas
perlindungan, dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan
bekerja adalah 15 tahun. Umur 15 tahun ini di adopsi dan usia sekolah wajib.
Pasal 2 juga menyatakan bahwa tidak seorang pun yang berada di bawah usia wajib
diperbolehkan bekerja atau masuk bekerja daiam suatu jabatan pada wilayah
negara anggota ILO. ini juga memuat larangan untuk bekerja pada alat angkutan
yang ada pada wilayah negara tersebut. Pasal 3 konvensi merumuskan bahwa untuk
jenis pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
orang muda, batasan umur tidak boleh kurang dari 18 tahun. Pasal 3 juga
merumuskan bahwa jenis-jenis pekerjaan yang berbahaya harus ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan nasional.
Selain itu juga pada Undang-undang Nomor 1
Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition
anil Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms of Child Labour
Atau Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak Tahun 1999. Rumusan instrumen
internasional yang ditetapkan oleh ILO sebagai kelanjutan dari upaya
perlindungan pekerja yang telah dirumuskan oleh konvensi sebelumnya adalah
konvensi ILO No. 182. konvensi ini lahir berdasarkan pertimbangan bahwa
dipandang perlu adanya instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk menghapus
bentuk-bentuk pekeriaan terburuk bagi anak.
Beberapa muatan asas yang berkaitan dengan
perlindungan anak terhadap eksploitasi anak sebagai pekerja dalam konvensi ini
adalah asas perlindungan, asas pencegahan, asas penerapan secara efektif, dan
asas kerjasama nasional. Konvensi ini juga memuat norma-norma yang berkaitan
langsung dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Pasal 1 mewajibkan
negara angota untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerjaanak sebagai hal yang
mendesak.
Pasal lain yang berkaitan dengan asas
perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4, yang merumuskan bahwa untuk
pekerjaan berbahaya harus diatur oleh peraturan atau undang-undang nasional,
juga mensyaratkan bahwa negara-negara peserta wajib untuk melakukan
identifikasi tempat-tempat adanya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut
berada Lebih lanjut pasal ini juga merumuskan adanya peninjauan berkala dan
revisi tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut Hal ini membuka peluang
masuknya rumusan baru tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak.Untuk
hal-hal yang berkaitan dengan penerapan secara efektif diatur dalam Pasal 5,
Pasal 6 dan Pasal 7. Pada prinsipnya konvensi ILO No. 182 mencoba memberikan
rumusan perlindungan terhadap anak sehingga anak tidak dipekerjakan.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa
perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi merupakan bagian dari hak terhadap
kelangsungan hidup (survival rights). Lebih lanjut konvensi juga menentukan
langkah-langkah yang harus diambil, yaitu antara lain;menentukan umur minimum
atau umur-umur minimum untuk ijin bekerja, menetapkan peraturan-peraturan yang
tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat perburuhan, dan menentukan
hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjarnin pelaksanaannya yang
efektif (Kurniaty, 2007: 108).
Disini berarti negara penanggung jawab
perlidungan anak harus marnpu mengambil kebijakan baik secara yuridis, sosial,
serta melakukan kerjasama internasional dalam rangka melindungi hak anak dari
eksploitasi ekonomi. Hal ini tentunya termasuk harmonisasi hukum nasional
terhadap instrumen hukum internasional yang mengatur perlindungan anak dari
eksploitasi ekonomi.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Undang-undang organik
tentang perlindungan hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen IV.
Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa
setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan
negara. Selain itu pasal ini juga menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi
manusia sehigga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi
oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak
berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik
atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam
pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan anak tersebut, pasal ini merupakan rumusan perlindungan
hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.
Beberapa pasal lain dalam UU HAM yang
memuat ketentuan perlindungan anak, terutama dalam bentuk perlindungan terhadap
anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal 64 berbunyi:
"setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga
dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan
mental spritualnya".dan Pasal 65 berbunyi: "setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,
penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Masalah pekerja anak juga tidak bisa
terlepas dengan upaya kesejahteraan anak yang diatur dalamUndang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979,
seperti dijelaskan dalam Pasal I, bertujuan menciptakan suatu tata kehidupan
dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus
diberikan perlindungan secara khusus untuk melindungi dari hal-hal yang dapat
membahayakan kesejahteraan mereka.
Masalah perlindungan anak sebagai pekerja
memang tidak diatur dalam rumusan undang-undang tentang kesejahteraan anak.
Hanya saja jika kita melihat permasalahan pekerja anak dalam kerangka
perlindungan anak, maka akan ditemukan bahwa pekerja anak sebagai suatu hal
yang bertentangan dengan undang-undang ini. Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang
merumuskan bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.
Rumusan ini berkaitan era! dengan dengan konsep1 perlindungan anak sebagai
pekerja. Di banyak tempat, anak yang bekerja akan selalu berada dalam kondisi
yang tidak menguntungkan dan tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi , kerja
yang dapat membahayakan atau menghambatpertumbuhan dan perkembangannya secara
wajar.
Di Indonesia juga sudah mempunyai
Undang-Undang khusus untuk melindungi hak-hak anak, yaitu Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Undang-undang tentang perlindungan anak
ini ditetapkan pada tahun 2002, dua belas tahun setelah Indonesia menyatakan
meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya rentang waktu ini terlihat kurang
seriusnya pemerintah untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak.
Pasal 2 menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya
hak-hakanak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, selanjutnya Pasal 20
mewajibkan kepada negara, pemerintah, masyarakat, kelurga dan orangtua untuk
ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Bagian lain dari
undang-undang ini merumuskan ancaman pidana bagi pelaku eksploitasi anak,
termasuk orang yang mengetahui adanya eksploitasi. Pasal-pasal dalam
undang-undang ini sangat berkaitan dengan rumusan perlindungan anak sebagai
pekerja. Terutama dengan kaitan jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak
seperti yang dimaksudkan dalam konvensi ILO No. 182. dengan adanya ketentuan
pidana dalam undang-undang ini, maka perlindungan terhadap anak terutama dalam
hal anak sebagai pekerja, diharapkan dapat ter'aksana. Memang undang-undang ini
tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan anak sebagai pekerja. Akan
tetapi ketentuan-ketentuan konvensi ILO No. 1 38 dan konvensi ILO No. 182 telah
dijadikan dasar hukum adanya undang-undang ini.
Penanggulangan Permasalahan Pekerja Anak
Kebijakan perlindungan anak terhadap
penanggulangan pekerja anak dianggap belum efektif. Hal ini disebabkan oleh
berbagai kendala di lapangan. Antara lain, nilai-nilai sosial seperti nilai
historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya masyarakat yang
tersusun dari tingkah laku yang terpola, dan lemahnya sistem pengawasan yang
dilakukan oleh bidang pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa masalah
yang terkait dengan pekerja anak adalah masalah lintas sektoral, yang meliputi
aspek ekonomi (anak bekerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produktifitas sebuah keluarga), budaya (anak bekerja merupakan ‘keharusan’ budaya
masyarakat tertentu yang merupakan doktrin Jawa ‘banyak anak banyak rejeki’), politik
(dengan anak bekerja, dapat diharapkan dapat melanggengkan dominasi
trah/kekuasaan), hukum (anak yang bekerja juga melingkupi penegasan status dan
kedudukan anak sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban yang harus
dijamin oleh hukum), sosial (anak yang bekerja dapat mengangkat harkat dan
derajat sebuah keluarga di mata masyarakat/anak yang nganggur adalah hina di
mata masyarakat). Sehingga berpijak dari berbagai macam perspektif masalah anak
yang bekerja tersebut, menuntut pula regulasi dan pengaturan yang komprehensif
dalam bentuk peraturan perundangan yang seharusnya dibuat, baik oleh eksekutif
maupun legislatif, baik ditingkat pusat maupun ditingkatan daerah, selaras
dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Oleh karena itu, penanggulangan pekerja
anak lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi
Daerah Nomor 5 Tahun 2001, tanggal 8 Januari 2001, tentang Penanggulangan
Pekerja Anak, dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4, bahwa Penanggulangan Pekerja
Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus,
mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar
dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Sedangkan pelaksanaan
kegiatan PPA dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan
Tinggi, Lembaga Kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja
anak.
Dalam pasal 4 juga dijelaskan bahwa
Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan
kegiatan PPA. Hal ini menunjukkan peran Pemerintah Daerah sangat besar terhadap
keberhasilan untuk menanggulangi pekerja anak, karena semua peran dari
Pemerintah Daerah terkait dengan adanya Otonomi Daerah.
Untuk bisa mencapai pada keberhasilan
tersebut, maka diatur juga dalam pasal 5 mengenai program-program dari PPA.
Program yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah tersebut memang sangat penting
untuk usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya
kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak.
Secara konsepsional, setidaknya ada tiga
pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yang sekiranya dapat
dipergunakan sebagai upaya untuk mengatasi dan sekaligus memberdayakan pekerja
anak, yakni penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan penguatan
atau pemberdayaan (empowerment) (Affandi, 2007: 17).
Pendekatan penghapusan muncul berdasarkan
asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja, karena dia harus sekolah
danbermain. Hal ini menurut penulis, dilandasi oleh semangat dan kultur
masyarakat industri maju Negara-negara Barat. Sebab dalam masyarakat yang sudah
maturity industrinya, tidak ditemukan persoalan yang signifikan bahwa mereka
para keluarga mengharuskan anaknya bekerja karena alasan ekonomi, sebagaimana
negera-negara miskin di kawasan Asia, Amerika latin dan Afrika. Sehingga dalam
Negara maju tersebut, sering kita jumpai aturan yang melarang segala jenis
pekerja anak dan oleh karenanya praktek kerja anak harus dihapuskan.
Dunia anak adalah dunia sekolah dan dunia
bermain, yang diarahkan kepada peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa,
fisik, mental, moral dan sosial. Setting dan kurikulum sekolah anak di desain
sedemikian rupa sehingga anak benar-benar “IN” dalam dunia mereka sendiri, yang
merupakan bagian integral dari proses yang sistematis dalam melahirkan generasi
serta dunia anak yang kondusif.
Pendekatanperlindungan,muncul berdasarkan
pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh
karenanya hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan
ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga
terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Dalam pandangan penulis,
pendekatan kedua ini tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah bagian
dari hak asasi anak yang paling dasar. Meskipun masih anak-anak, hukum harus
dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan
pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua,
keluarga, masyarakat, apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga,
masyarakat dan Negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak
yang paling asasi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Dalam pendekatan ini tidak dibenarkan ada peraturan perundangan
yang mengeksploitasi sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi,
sosial, politik, budaya, hukum dalam perspektif orang tua, keluarga, masysrakat
dan Negara (Affandi, 2007: 19).
Sedangkan pendekatan Empowerment, juga
berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan
pekerja anak agar mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Dalam
pandangan penulis pendekatan perlindungan dan pendekatan pemberdayaan inilah
yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi Negara-negara di kawasan Asia,
Amerika Latin dan Afrika, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di daerah
selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Selain memperhatikan ketiga pendekatan
tersebut diatas, upaya memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pekerja
anak dapat dilakukan dengan cara; pertama, mengubah persepsi masyarakat
terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya
dan tersita hak-haknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. Kedua, melakukan
advokasi secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian
pertama diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal
ini perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. Ketiga,
mengundangkan dan melaksanakan peraturan Perundang-undangan yang selaras dengan
konvensi internasional, khususnya Konvensi Hak Anak dan Konvensi ILO lain yang
menyangkut anak, keempat, mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan
pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti
di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kelima, memastikan agar anak-anak yang
bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui
bentu-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka
(Huraerah, 2006: 76).
Seperti tampak pada analisis di atas,
hubungan antara pekerja anak dengan kemiskinan bersifat multidimensi dan
kompleks. ILO melalui Program Internasional tentang Penghapusan Pekerja Anak
(the International Programme on the Elimination of Child Labour/IPEC) terus
mendukung Pemerintah Indonesia dan masyarakat madani untuk mengatasi dimensi
kemiskinan yang kompleks pada pekerja anak dengan memberikan respon
multidimensi sejak tahun 1992. Dukungan ILO-IPEC bersifat holistic dengan
aktivitas bertingkat yang langsung ditargetkan pada penerima manfaat dan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penghapusan pekerja anak.
Masalah perlindungan hukum bagi pekerja
anak bukan sesuatu yang dapat diatasi seperti membalikkan telapak tangan.
Prosesnya akan memakan waktu yang lama serta membutuhkan kerjasama yang serius
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
PENUTUP
Kesimpulan
Terjadinya pekerja anak dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial seperti kemiskinan, urbanisasi, sosial budaya,
pendidikan, perubahan proses produksi serta lemahnya pengawasan dan minimnya
lembaga untuk rehabilitasi. Namun pada kenyataannya keterlibatan anak dalam
pekerjaan mayoritas didorong oleh faktor kemiskinan atau ekonomi.
Perlindungan bagi anak sebagai pekerja pada
dasarnya telah diatur dalam beberapa rumusan Undang-undang dan Konvensi
Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sekarang ini Indonesia
telah memiliki kebijakan tentang perlindungan pekerja anak dan hak-haknya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan pekerja anak, namun pada umumnya upaya pemerintah belum
berjalan secara optimal. Pelaksanaan peraturan perundang-undangan belum sesuai
antara harapan dan kenyataan.
Saran
1.Pemerintah harus melakukan perbaikan
ekonomi untuk kesejahteraan rakyat, sehingga diharapkan angka kemiskinan
berkurang yang kemudian diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan di
masyarakat yang diharapkan bisa mengurangi pekerja anak.
2.Diharapkan Pemerintah lebih
mengefektifkan aturan-aturan yang telah ada, termasuk pemberdayaan aparatur
Negara dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang konsisten terhadap
perlindungan hak-hak anak untuk bisa lebih mengawasi dan mendampingi anak yang
dipekerjakan agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh yang
mempekerjakannya.
3.Dalam kaitannya dengan upaya penghapusan
anak sebagai pekerja, Pemerintah haruslah mempunyai target untuk menghapus
pekerja anak secara tuntas. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang bersifat
nasional dengan upaya penghapusan kemiskinan yang telah terstruktur.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah, 2006, Kekerasan Terhadap
Anak, Nuansa, Bandung.
Prinst, Darwan. 2003, Hukum Anak Indonesia,
Anggota IKAPI, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Wiryani, Fifik.2003, Perlindungan Pekerja
Anak, Pusat Studi Kajian Wanita, UMM Press, Malang
Haryadi, Dedi, Tjandraningsih dan
Indrasari, 1995, Buruh Anak dan Dinamika Industri Kecil, Alkatiga, Bandung
Affandi, Idrus. 2007, Pendidikan Anak
Berkonflik Hukum (model Konfergensi Antara Fungsionalis Dan Religious),
Alfabeta, Bandung
Purnianti, Sri S.M, dan Martini, 2002,
Analisa Suatu Sistem Peradilan Anak, FISIP UI, Jakarta.
Kurniaty, Rika. 2007, Perlindungan Hukum
Terhadap Pekerja Anak Berdasar Hukum Positif Indonesia, Risalah Hukum, Fakultas
Hukum,vol.13, No.2, edisi Desember 2006-Mei 2007, ISSN 021-969X,Unmul
Tadjhoedin, Noer Effendi, 1992, Buruh Anak
Fenomena Dikota dan Pedesaan-Dalam Buruh Anak Disektor Informal-Tradisional Dan
Formal, Sumberdaya Manusia, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
UU No 1 tahun 2000, tentang konvensi ILO
nomor 182 mengenai pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak
UU No. 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan
Anak
UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM
Komentar