DIKTAT HUKUM PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
Anak sebagai makhluk Allah SWT dan juga
sebagai makhluk Sosial sejak dalam kandungan sampai melahirkan mempunyai hak
atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu tidak ada setiap
manusia atau pihak yang boleh merampas hak atas hidup dan merdeka tersebut.
Bila anak tersebut masih dalam kandungan orang tua dan orang tua tersebut
selalu berusaha untuk menggugurkan anaknya dalam kandungannya,
maka orang tua tersebut akan diproses hukum
untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Palagi
anak yang telah melahirkan, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak
dasar dan kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi
harus dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut. Karena
hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat
jaminan dan perlindungan hukum baik Hukum Nasional seperti yang termuat dalam
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan
tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk
memberikan perlindungan pada anak UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak baik itu perlindungan anak secara umum maupun perlindungan anak secara
khusus atau perlindungan anak yang menghadapi permasalahan hukum (sebagai
pelaku TP), maupun Hukum Internasional seperti Universal Declaration of Human
Right (UDHR) dan Internasional on Civil and Political Rights (ICPR). Bahkan hak
asasi anak harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa yang diatur secara
khusus dalam konvensi-konvensi internasional khusus.
Sebelum lebih lanjut kita membahas tentang
perlindungan anak, maka perlu kita bangun beberapa dasar pemikiran sebagai
landasan pembahasan masalah perlindungan anak, dimana dalam konteks pemberian
perlindungan yang optimal terhadap anak , perlu kita pahami pemahaman tentang
apa pengertian dari arti, sikap, dan tindak.
1. Arti , sikap dan Tindak
Sebelum kita mengambil sikap dan menentukan
tindakan-tindakan apa yang ingin kita lakukan dengan baik maka tepat apabila
kita memahami lebih dahulu arti atau mempunyai pengertian yang tepat mengenai
suatu masalah. Dengan dimilikinya pengertian/arti yang tepat mengenai
perlindungan anak misalnya, maka diharapkan kita akan bersikap dan bertindak
tepat pula dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan
masalah perlindungan anak. Pengertian yang tepat dapat berakibat kita
bermotivasi yang kokoh positif dalam melaksanakan kegiatan perlindungan anak.
Berdasarkan pengertian yang tepat, kita dapat membuat kebijaksanaan dan
perencanaan kerja yang lebih baik dan dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu
apabila kita mau berhasil, maka mau tidak mau kita harus mengusahakan sebaik
mungkin pemerataan pengertian mengenai sesuatu, demi mencegah salah
paham/perbedaan pengertian. Perbedaan pengertian antarpartner dalam suatu usaha
bersama, merupakan faktor penghambat mencapai tujuan.
2. Pengertian tentang manusia
Masalah perlindungan anak adalah suatu
masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Citra atau pengertian
tentang manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang dominan dalam menghadapi
dan menyelesaikan permasalahan perlindungan anak yang merupakan permasalahan
kehidupan manusia juga. Pengertian bahwa, yang menjadi objek dan subjek
pelayanan dalam kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak hak dan
kewajiban; motiva-q seseorang untuk mau ikut serta secara tekun clan gigih
dalam kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan
berhak mendapat perlindungan mental, fisik, sosial dari orangtuanya, anggota
masyarakat dan negara, pandangan pernyataan-pernyataan tersebut jelas
berdasarkan pengertian atau citra yang tepat mengenai manusia. Sehubungan
dengan ini, maka alangkah baiknya kalau kita ikut serta dalam pelaksanaan
kegiatan perlindungan anak ini bertitik tolak dari suatu pengertian tentang
manusia sebagai berikut: yang dilindungi maupun yang melindungi dan siapa saja
yang terlibat dalam masalah perlindungan anak, adalah manusia-manusia sesama
kita yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan kita sebagai manusia,
dan yang berada dengan kita dalam suatu masyarakat.
Mereka yang mempunyai citru k,emanusiaan
ak,an lelnh mengerti apu yutr,k, seutuhnya, yang juga meliputi kegiatan
demikian, mereka akan suka ikut sv anaknya sendiri maupun anak orang pribadi
masing-masing. Sebetulnyu, sebagai warga negara Indonesia yang berfalsafah
Pancasila (yang mengandung pedoman untuk kita bersikap dan bertindak secara
tepat terhadap sesama manusia dalam kita hidup bernegara clan bermasyarakat)
kita wajib bersikap dan bertindak tepat terhadap sesama kita sebagai manusia.
Sehubungan dengan ini, maka adalah mutlak
kita menyebarluaskan meratakan pengertian yang tepat mengenai manusia apabila
bila mau berhasil melakukan perlindungan anak. Pengertian yang tidak tepat
mengenai manusia merupakan salah satu faktor penghambat kegiatan mengembankan
keadilan dan kesejahteraan pada umumnya dan kegiatan perlindungan anak pada
umum dan kegiatan perlindungan anak pada khususnya.
Pengertian yang tepat mengenai manusia,
sebagai sesama kita yang ada dalam suatu masyarakat dapat pula mengembangkan
rasa tanggung jawab kita terhadap sesama anggota masyarakat. Rasa Tanggung
jawab ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, oleh
karena itu yang perlu mendapatkan perlindungan tidaklah selalu anak kita
senidir, melainkan anak anggota masyarakat yang lain dari masyarakat kita.
3. Pengertian tentang keadilan
Dalam rangka pembahasan masalah
perlindungan anak perlu kita mempunyai pengertian tentang keadilan yang tepat,
yang mendukung kegiatan perlindungan anak. Rasa keadilan seseorang akan
mempengaruhi adanya kelangsungara kegiatan perlindungan anak. Dalam pembahasan
ini saya berpegang pada pengertian keadilan sebagai berikut: bahwa `Keadilan
adalah suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan
kevajibannya secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat".
Apabila keadilan dikaitkan dengan
perlindungan anak, maka antara lain dapat dikatakan, bahwa dimana ada keadilan,
di situ seharusnya terdapat pula perlindungan anak yang baik. Anak dilindungi
untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertanggung
jawab dan bermanfaat.
Yang dimaksud dengan rasional, bertanggung
jawab dan bermanfaat adalah sebagai berikut:
- Kasional, berarti: masuk akal, wajar.
Tetapi kerasionalannya tersebut dapat bersifat positif atau negatif.
- Bertanggung jawab, berarti: dapat
dipertanggungjawabkan secara horisontal (terhadap sesama manusia) dan vertikal
(terhadap Tuhan), dapat dipertanggungjawabkan terhadap orang lain dan diri
sendiri;
- Bermanfaat, berarti: bermanfaat, untuk
orang lain, masyarakat, bangsa, dan diri sendiri.
Untuk mengkaji dan menguji apakah sesuatu
itu rasional positif, dapat dipertanggungjawabkan, serta bermanfaat atau tidak,
dapat dipakai sebagai dasar atau pedoman mengkaji antara lain Pancasila,
Undang-undang Dasar 1945, ajaran agama yang baik dan pandangan pandangan
tradisional maupun yang modern (yang positif). Alangkah baiknya apabila sarana
pengkajian ini diratakan untuk dipahami dan dipakai sebagai pengkaji dan penguji
tindakan-tindakan, peraturan yang dikenakan pada seseorang dengan dalih apapun,
oleh siapa saja.
4. Hasil lnteraksi
Hampir setiap tindakan dan masalah yang
ada, yang terjadi baik, yang positif atau negatif dapat merupakan hasil
interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi. Sekarang yang penting adalah mengamati fenomena mana saja yang
relevan dan memainkan peranan yang penting dalam terjadinya sesuatu tindakan
atau hal tertentu.
Berdasarkan pemikiran ini, maka kita
dipaksa untuk melihat masalah menurut proporsi yang sebenarnya secara
dimensional, apabila kita ingin mendapatkan gambaran yang benar mengenai
sesuatu.
Diutamakan dalam pemikiran ini hubungan
hubungan yang ada antara unsur-unsur yang relevan, fenomena yang ada dan saling
mempenganihi. Dikatakan bahwa ada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang
bersangkutan. Misalnya dalam hal terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan
merupakan suatu basil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang
ada dan saling mempengaruhi. Antara pelaku-pelaku kejahatan dan korban terdapat
hubungan fungsional. Tidak ada kejahatan tanpa korban.
Dalam kejahatan tertentu, pihak korban
bahkan dapat dikatakan bertanggung jawab fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan, misalnya, dalam kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang
anak lelaki terhadap ayahnya yang dianggap sebagai seorang tiran dalam
keluarga, yang selalu memperlakukan ibunya dan anak lelaki tersebut secara
lalim, tidak adil (tidak melindungi anak-anak). Ayah sebagai korban mempunyai
peranan penting dalam terjadinya pembunuhan terhadap dirinya. Ayah tersebut
telah sebelumnya menimbulkan kebencian, menciptakan iklim dilaksanakannya suatu
pembunuhan terhadap dirinya.
Peninjauan interaktif ini memperluas para penanggung
jawab atas atau orang-orang yang terlibat dalam terjadinya suatu tindakan,
peristizva.
Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa
kegiatan/usaha perlindungan anak dikatakan sebagai suatu hasil interaksi karena
adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Maka
berkaitan dengan masalah perlindungan anak, perlu kiranya diperhatikan fenomena
yang relevan, faktor-faktor mana yang menghambat atau mendukung adanya usaha
perlindungan anak.
A. Pengertian Hukum Anak
Peraturan tentang anak belum terunifikasi,
tetapi terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada saat ini, antara lain :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Undang-undang Pengadilan Anak No. 3/1997
3. Undang-undang Pemasyarakatan No. 12/1995
4. Undang-undang Keejahteraan Anak
No.4/1979
5. PP tentang pendidikan Pra Sekolah No.
27/1990
6. PP tetang Usaha Kesejahteraan Bagi Anak
yang mempunyai masalah No. 2/1988.
7. Keppres No. 12/2001 tentang Komite
Penghapusan Pekerjaan terburuk untuk anak
8. Kepmen No.4/KEP/MENKO/KESRA/III/1997
tentang Kebijaksanaan Penyelenggaraan Pembinaan Kualitas Anak
9. Kesepakatan Bersama antara menteri
Negara Masalah-masalah kemasyarakatan RI/kepala Badan kesejahteraan Sosial
nasional, menteri pendidikan dan Menteri kesehatan, Kapolri Ri No:
a. No 237/MMK/V/2000
b. No. 3/UKB/2000
c. 928/MENKES/SKB.V/200
d. B/03/V/2000
Tentang penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia
Dengan sejumlah peraturan-peraturan yang
memperhatikan akan keberadaan anak, lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
hukum anak itu?
Menurut pemahaman yag dapat diambil dari
sejumlah peraturan tersebut di atas, hukum anak adalah sekumpulan peraturan
hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak
itu meliputi :
1. Sidang pengadilan Anak
2. Anak sebagai pelaku tindak pidana
3. Anak sebagi korban tindak pidana
4. Kesejahteraan Anak
5. Hak-hak Anak
6. Pengangkatan Anak
7. Anak terlantar
8. Kedudukan Anak
9. Perwalian Anak
10. Anak Nakal
11. Dan lain sebagainya
Pengaturan Hukum Anak di negara kita sampai
sekarang tersebar dalam berbagai peraturan, sehingga membuat sulitnyua kita
memahami hukum anak itu sendiri.
Bila kita perhatikan dalam UU No. 3/1997
pada bagian menimbang, maka terlihat pengertian anak adalah : bagian dari
generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa. Yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindugan dalam
rangka menjamin pertumbuha dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Karena begitu banyaknya peraturan
perundangan tentang anak, maka sebagai akibat dari itu semua pemahaman akan
anak jelas beragam seperti :
1. Undang-undang Pengadilan Anak
Undang-undang Peradilan Anak (Undang-undang
No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara
Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Jadi dalam Undang-undang no.3/1997 tentang
anak, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18
(delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin.
Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau
perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa;
walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
2. Anak dalam Hukum Perburuhan
Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan
(Undang-undang No. 12 Tahun 1948) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki
atau perempuan berumur 14 tahun ke bawah.
3. Anak menurut KUHP
Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang
belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh kanena itu,
apabila Ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si
tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya
dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan
kepada pemerintah dengan tldak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35,
46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun
1997. sedangkan dalam KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah
belum genap berumur 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal (pasal
285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal-pasal itu tidak
mengkualifikasinya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/terhadap orang
dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan
dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.
4. Anak menurut Hukum Perdata
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Aturan ini tercantum dalam UU
No.4/1979). Hal ini didasarkan pada pertimbangan usaha kesejahteraan anak,
dimana kematangan sosial, pribadi dan mental seseorang anak dicapai pada umur tersebut.
Pengertian ini digunakan sepanjang memiliki keterkaitan dengan anak secara
umum, kecuali untk kepentingan tertentu menurut undang-undang menentukan umur
yang lain
5. Anak menurut Undang-undang Perkawinan
Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan
(Undang-undang No.1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin
apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat
dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.
6. Anak Pidana, adalah anak yang
berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan,
dimana anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Anak pidana ditempatkan di
lembaga Pemayarakatan (LAPAS). Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan hak-hak narapidana itu diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Anak pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan
kegiatan tertentu yang akan diatur dengan PP. Anak Pidana dapat dipindahkan
dari satu lapas ke lapas lain, dimana pemindahan itu guna kepentingan
pembinaan, keamanan dan ketertiban, pendidikan, dan anak pidana tidak berhak
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, karena anak tidak
boleh bekerja.
7. Anak Negara, adalah anak yang
berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk
itu aak negara ditempatkan di lembaga Pemasyarakatan Anak, paling lama sampai
berumur 18 tahun. Bagi anak negara yng ditempatkan di LAPAS anak wajib didaftar
(pasal 25 UU No.12/1995). Tidak berhak mendapatkan upah atau premi dan tidak
juga berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan
dipidana.Anaka negara dapat dipindahkan dari lapas yang satu ke lapas yang lain
demi kepentingan tumbuh, kembang dan pedidikannya
8. Anak sipil, adalah anak yang tidak mampu
lagi dididik oleh orang tua/ wali, atau orang tua asuhnya dan karenanya atas
penetapan pengadilan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik
dan dibina sebagaimana mestinya. Pasal 384 BW mengatakan dasar permintaan
menempatkan si anak menjadi anak sipil haruslah berdasarkan alasan-alasan yang
sungguh-sungguh merasa tak puas atas kelakuan ia (anak), sedangkan yang berhak
mengajukan permintaan itu adalah 1) orang tua, 2) wali, 3) orang tua asuh, 4)
dewan perwalian. Menurut pasal 32 UU No.12/1995. Anak sipil ditempatkan di
LAPAS pling lama 6 bulan bagi mereka yang belum berumur 14 tahun, dan paling
lama 1 tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 tahun
dengan ketentuan paling lama ampai berumur 18 tahun
Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan
usia ini, karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat kenal
Lahir. Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat
Baptis atau Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Karenanya kadang kala
terdapat kejanggalan, anak berbadan besar dengan kumis dan jenggot tapi menrut
keterangan usia masih muda.Malahan adakalanya orang yang terlibat kasus pidana
membuat keterangan dia masih anak-anak sementara usia sudah dewasa dan sudah
kawin. Dan dalam kasus mencari kerja terutama pada TKI/ buruh anak usia
kadangkala disulap menjadi dewasa, padahal ciri-ciri lahiriah seperti ukuran
badan, buah dada, dan lain-lain jelas-jelas masih usia anak-anak.
B. Kesejahteraan Anak
Latar budaya kita memberi acuan yang
disepakati bahwa semua anak Indonesia adalah aset bangsa. Oleh karena itu
kesejahteraan perlu terus ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan keejahteraan
anak, telah diamanatkan dalam UUD RI 1945, Undang-undang Nomor 4/1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tetang Usaha
Kesejahteraan Sosial Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, Rativikasi Konvensi PBB
tentang Hak-hak Anak melalui Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun., UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi
Manusia telah mencantumkan tentang hak anak (pasal 52 ayat 1,2), UU No. 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .
Berkaitan dengan UU tersebut di atas hukum
dalam arti peraturan merupakan kristalisasi dari kehendak masyarakat yang
saling berinteraksi. Dengan menyadari bahwa hukum sebagai suatu yang bersifat
memaksa, maka kita dapat mengkontraskannya secara tajam bahwa dari berbagai
Undang-undang yang tersebut di atas sepenuhnya mengejar tujuan-tujuan yang sama
yaitu kesejahteraan bagi anak Indonesia , tetapi dengan penekanan pada aspek
yang berbeda-beda .
Untuk itulah Pencanangan gerakan Nasional
perlindungan Anak adalah untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional
guna menghargai hak-hak anak dalam rangka menumbuhkan, meningkatkan dan
mengembangkan kepedulian masyarakat agar berperan aktif mekindungi anak dari
segala bentuk ganguan terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya si
anak.
Dalam kaitan ini fungsi dan peranan
keluarga mempunyai kedudukan yang strategis karena keluarga sebagai unit
terkecil dalam tatanan masyarakat menyandang peran, cakupan substansi dan ruang
lingkup yang cukup luas. Dengan adanya kesamaan dan kejelasanan mengenai fungsi
dan peranan tersebut, akan dapat mempermudah dalam meberikan alternatif
pemberdayaan leluarga dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak
dalam keluarga.
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak
akan dapat terwujud dengan melihat Undang-undang yang oleh pemerintah sebagai
lembaga yang berhak mengeluarkan UU bersama dengan DPR seperti UU No. 4/1979
tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, UU No.
23 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak .
Undang-undang yang tersebut di atas
mempunyai persamaan persepsi tentang kebijakan kelangsungan hidup, tumbuh
kembang, perlidungan dan peran serta anak yang didasarkan pada tiga aspek utama
Konvensi Anak yaitu:
a. Kelangsungan hidup (survival),
b. Tumbuh Kembang (developmental) dan,
c. Perlindungan (protection)
Untuk hal tersebut di atas dikemukakan
beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Kesejahteraan anak adalah suatu tata
kehidupan dan peghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohaniah, jasmaniah maupun sosialnya
2. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan
dasar yang seharusnya diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh
kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, ekspoitasi dan
penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonom, sosial dan
budaya anak.
Perlindungan anak adalah segala upaya yang
ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami
tindak perlakuan salah, ekspoitasi dan penelantaraan agar dapat menjamin
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental
maupun sosialnya
C. Hak-hak Anak
Undang-undang No. 4 Tahun 1979, Bab II
Pasal 2 sampai dengan 9, mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, diperkuat
dalam Undang-undang Nomor 23/2002 dalam Bab III Pasal 4 sampai 18 sebagai
berikut:
1. Hak atas kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan.
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di
dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
Dimaksud dengan asuhan, adalah berbagai
upaya yang dilakukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar,
anak terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara
sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 angka 32 PP
No. 2 Tahun 1988).
2. Hak atas pelayanan
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. (Pasal 2 ayat 2
Undang-undang No. 4 Tahun 1979).
Hak atas pemeliharaan dan perlindungan Anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat Undang-undang No. 4 Tahun 1979).
3. Hak atas perlindungan lingkungan hidup
Anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar (Pasal 2 ayat 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).
4. Hak mendapat pertolongan pertama
Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah
yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan dan penlindungan
(Pasal 3 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).
5. Hak memperoleh asuhan
Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak
memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain (Pasal 4 ayat 1
Undangundang No. 4 Tahun 1979). Dengan demikian anak yang tidak mempunyai orang
tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun
sosial.
6. Hak memperoleh bantuan
Anak yang tidak mampu berhak memperoleh
bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan
wajar (Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1979). Menurut PP No. 2 Tahun
1988, bantuan itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu
tertentu kepada anak yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 4).
D. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia
Perhatian terhadap anak sudah lama ada
sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin
berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh
karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang
fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap
anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No.
647 Junto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita.
Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak
dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942
lahirlah Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang disahkan mulai berlaku pada
tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46 dan 47
memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya
pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297, dan lain-lain memberikan
perlindungan terhadap anak di bawah umur, dengan memperberat hukuman, atau
mengkualifikasi sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap
anak. Padahal adakalanya tindakan itu bukan tindak pidana bila dilakukan
terhadap orang dewasa. Dilanjutkan tahun 1948 lahir Undang-undang Pokok
Perburuhan (Undangg No.12 Tahun 1948) yang melarang anak melakukan. Pekerjaan
tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2/1988 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak (29 Februari 1988).
Secara internasional pada tanggal 20
November 1989, lahirnya konvensi Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak.
Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden No. 36
/ 1990. Konvensi itu memuat kewajiban Negara-negara yang merativikasinya untuk
menjamin terlaksananya hak-hak anak.
Undang-undang Pokok Tenaga kerja No. 12
Tahun 1948 secara tegas melarang anak bekerja. Akan tetapi dalam kenyataan
banyak anak terpaksa melakukan pekerjaan di sektor informal untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Menyadari keadaan demikian pemerintah dengan Permenaker
No. 1 Tahun 1987, mengatur tentang anak yang terpaksa bekerja. Di mana untuk
anak yang terpaksa bekerja disyanatkan harus ada izin dari orang tua/walinya,
lama kerja maksimal 4 (empat) jam/hari, upah sama dengan orang dewasa, tidak
bekerja pada malam hari, dan pada tempat-tempat berbahaya bagi kesehatannya.
Ketentuan ni merupakan peningkanan terhadap Undang-undang No. 12 Tahun Jo.
Undang-undang No. 1 Tahun 1950 yang memberlakukan Undang-undang No. 12 Tahun
1948 di seluruh Indonesia.
Sedangkan Undang-undang Pokok Perkawinan
(Undang-undang No. 1 Tahun 1974) juga pada beberapa pasalnya mengatur tentang
anak, seperti usia boleh kawin untuk pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan
untuk wanita adalah 16 (enam belas) tahun. Akan tetapi dalam praktek ketentuan
ini banyak dilanggar, dengan melakukan perkawinan secara adat atau kepereayaan
saja. Akibatnya seringkali masalah usia ini tidak diperhatikan. Malahan
perkawinan di beberapa daerah tertentu juga jarang yang dicatatkan sesuai
ketentuan yang berlaku. Ini tentunya akan menjadi kendala tersendiri mengenai
status anak. Menghadapi kenyataan tersebut, Lembaga peradilan termasuk Mahkamah
Agung seringkali membuat putusan yang kontradiktif. Pada satu putusan
perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut adat, kepercayaan, tanpa
didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku dikatakan belum ada. Akan tetapi pada
putusan lain dikatakan sah dan sudah ada. Misalnya putusan Mahkamah Agung RI.
Reg. No 373 k/Pdt/1 994, tanggal 30 September 1996, menyatakan perkawinan yang
dilangsungkan menurut tata cara adat Tionghoa walaupun tidak dicatatkan adalah
sah. ini artinya perkawinan yang hanya dilaksanakan menurut tata cara agamal
kepercayaan sudah sah.
Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
tidak sah, adalah anak di luar kawin dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya. Sebaliknya anak sah, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
sah. Inilah arti penting dari putusan Mahkamah Agung No. 372K/Pdt/1994
tersebut, karena dengan demikian anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
belum dicatatkan sesuai ketentuan yang berlaku adalah menjadi anak yang sah.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari ternyata
adakalanya seorang anak harus diadili di pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Tata cara pemeriksaan anak
di depan pengadilan selama ini belum diatur dengan undang-undang. Oleh karena
itu Menteri Kehakiman RI, dengan peraturan No. M.06-UM. 01 Tahun 1983, tanggal
16 September 1983 mengatur tata tertib persidangan anak. Dalam konsiderasnya
dikatakan, ketentuan ini diberlakukan sambil menunggu undang-undang tentang
Peradilan Anak yang akan mengatur masalah tersebut. Pasal 10 peraturan itu
mengatakan, sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu
Ketua Pengadilan Negeri dapat menentukan pemeriksaan dilakukan dengan Hakim
Majelis.
Pemeriksaan dilakukan dengan pintu
tertutup, sementara putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Hakim,
jaksa penuntut umum dan penasehat hukum (Pasal 11) bersidang tanpa toga, dan
pemeriksaan ini dengan kehadiran orang tualwali/orang tua asuh. Sedangkan untuk
mengetahui latar belakang anak, hakim dapat menugaskan lembaga pemasyarakatan
dan Departemen Kehakiman untuk membuat laporan Sosial Anak tersebut. Laporan itu
mengenai keadaan anak, fIsik, psikhis, sosial, ekonomi, keadaan rumah tangga
orang tua asuh dan penghuninya. Di samping itu juga berisi keterangan mengenai
kelakuan anak di sekolah atau di lingkungan tempat pekerja hubungan/pergaulan
anak dengan lingkungan, rukun tetangga atau kepramukaan.
Mahkamah Agung dengan Surat Edaran No. 6
Tahun 1987, tanggal 17 November 1987 juga mengatur Tata Tertib Sidang Anak. Di
mana dikatakan bahwa dalam perkara pidana yang terdakwanya anak, diperlukan
penelitian pendahuluan oleh hakim yang memeriksa perkara mengenai unsur tindak
pidana yang didakwakan maupun menyangkut lingkungan, pengaruh serta keadaan
anak yang melatarbelakangi perbuatan pidana itu. Mahkamah Agung mengharapkan
setiap hakim mempuinyai perhatian (interest) terhadap anak yang melakukan
tindak pidana, memperdalam pengetahuan melalui literatur, diskusi dan
sebagainya. Untuk itu diharapkan ketua pengadilan di seluruh Indonesia menunjuk
sedikitnya 2 (dua) orang hakim di setiap Pengadilan Negeri yang memperhatikan
terhadap masalah tindak pidana anak, di samping tugasnya sehari-hari sebagai
hakim biasa juga dibebani tugas khusus memeriksa perkara-perkara tindak pidana
yang terdakwanya anak-anak.
E. Kedudukan Anak
Masalah kedudukan anak di atur dalam UU
No.1/1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, yaitu pada bab IX pasal 42 smpai
dengan pasal 47.Pasal 42 mengatakan, anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan
di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah
itu, adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam -Pasal 2
Undang-undang Pokok Perkawinan. Menurut pasal itu, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,
serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang, apa
yang dimaksud dengan: “….menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya Bagi umat
beragama, perkawinan itu menjadi sah bila dilakukan sesuai dengan tata cara
agamanya masing-masing. Akan tetapi bagaimana halnya dengan kata ‘kepercayaannya”? Menurut
hemat saya, ini maksudnya di mana di tempat-tempat tertentu perkawinan
dilakukan menurut tata cara adat setempat, yang diakui sebagai hukum yang hidup
di dalam masyarakat tersebut. Sementara pencatatan perkawinan bagi yang
beragama Islam dilakukan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang beragama non Islam
pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan
Sipil. Akan tetapi di dalam praktek muncul ketidakpastian tentang makna
pencatatan perkawinan itu. Misalnya ada beberapa putusan pengadilan termasuk
putusan Mahkamah Agung yang menyatakan perkawinan yang tidak dicatatkan sebagai
belum ada. ini kayaknya mengacu pada ketentuan Pasal 100 BW, yang menyatakan
perkawinan yang belum dicatatkan sebagai belum ada. Sementara Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksananya tidak mengatur sanksi atas perkKawinan
yang tidak dicatatkan tersebut.
Pencatatan itu sendiri dalam praktek
mengalami kesulitan, karena biaya yang mahal, jauhnya tempat perkawinan dengan
pencatatan, prosesnya panjang dan berbelit, dan malahan pencatatan itu sendiri
belum merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat kita dewasa ini(Prinst
Darwan 1996; 141). Putusan Mahkamah Agung RI, Reg.No.:3752K/Pdt/1 994 tanggal
30 September 1996 menyatakan sah perkawinanyang dilakukmn menurut tata cara
adat Cina dan tidak didaftarkan diCatatan Sipil ini bertolak belakang dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung sebelumnya.
Prakteknya hakim tidak ada kewajiban untuk
mengikuti suatu putusan Mahkamah Agung tentang sesuatu masalah yang sama. Ini
menyulitkan penumbuhan kesadaran hukum masyarakat, karena seolah-olah hukum
tidak ada. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan sesuai Pasal 43 (1)
Undangundang No. 1 Tahun 1974, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Artinya dia tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Demikian pun suami
dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya, bilamana ia dapat
membuktikan, bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat perbuatan zina
itu. Dalam keadaan demikian masalahnya akan diputuskan oleh pengadilan.
Pasal 45 Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
mewajibkan orang tua (ayah dan ibu) untuk memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya. kewajiban ini berjalan sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak membatasi tanggung jawab
ini dengan umur melainkan status dan keadaan anak itu sendiri. Demikian juga
sebaliknya sesuai Pasal 46 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, anak wajib
menghormati orang tua dan menuruti kehendak mereka yang baik. Serta apabila
anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuan orang tua dan keluarga
dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukannya.
Kewajiban yang diatur dalam pasal 46
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini, adalah kewajiban anak yang telah dewasa
untuk memelihara ayah, Ibu, kakek, nenek dan seterusnya, apabila mereka itu
memerlukan pemeliharaannya.
F. PERWALIAN
Pasal 47 Undang-undang No. 1974 menentukan,
bagi anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Syaratnya asal
orang tua itu tidak dicabut dari kekuasaannya. Artinya orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum. Baik itu di dalam maupun di luar
pengadilan. Dalam menjalankan kekuasaannya itu sesuai Pasal 48 Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya itu, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.
Orang tua baik kedua-duanya ataupun salah
seorang di antaranya dapat dicabut kekuasaannya terhadap anak untuk jangka
waktu tertentu. Permintaan pencabutan itu sesuai Pasal 49 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dapat dimintakan oleh:
1. Orang tua yang lain.
Maksudnya apabila yang akan dicabut
kekuasaannya itu adalah si ayah, maka dapat dimohonkan oleh ibu. Demikian
sebaliknya bila kekuasaan yang dicabut itu adalah ibu, maka dapat dimohonkan
oleh ayah.
2. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas.
Misalnya kakek, nenek dan selanjutnya.
3. Saudara kandung yang telah dewasa.
Misalnya abang, kakak dan anak yang belum dewasa itu.
4. Pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan.
Adapun alasan-alasan untuk itu adalah
apabila orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, atau
berkelakuan buruk sekali. Akan tetapi meskipun orang tua itu sudah dicabut
kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada
anaknya tersebut.
BAB II
PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian Hukum Perlindungan Anak
Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami
peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan, Krisis ekonomi yang terjadi
diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini, menurut Anwar &
Irwanto 1999, saat ini diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar
50.000 anak dan 10% diantaranya adalah perempuan.
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat
merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai
pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak
jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana
kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggarkan. Oleh
karena itu untuk memberikan perlindungan terhadap anak maka hukum kita masih
memberikan definisi yang berbeda tentang anak, tapi dalam konvensi PBB tentang
hak anak diberi batasan usia 18 tahun ke bawah. UU No. 23 tahun 2002 juga
mengadopsi batasan yang ada di dalam konvensi hak anak yaitu 18 tahun ke bawah
dengan sama sekali tidak membedakan apakah sudah atau belum kawin. Sehingga
dalam perseptif terhadap UU Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak kita tidak
meletakan batasan usia itu sebagai seseorang dikualifikasi sebatas batas dewasa
atau tidak, tetapi siapakah yang punya hak, yang mempunyai hak atas hak-hak
anak sesuai dengan konvensi hak anak dan UU Nomor 23/2002.
B. Beberapa dasar pemikiran Masalah
perlindungan Anak
1. Landasan Hukum
a. Undang-undag dasar 1945, Pasal 20, 20A
ayat (1), 21, 28B ayat (2), 34 UUD RI 1945
b. Pasal 2 ayat (3) , (4) Udang-undang No.
4/1979 tentang kesejahteraan Anak berbunyiÁnak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Abak
berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
meghmbat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, kedua ayat ini dengan tegas
menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindugan anak dalam rangka
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.
c. Deklarasi hak anak yng disyahkn oleh PBB
pada tanggal 20 Nopember 1959
d. Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal
45, 287, 288, 292 dan 294 dan pasal 304.
e. UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan
f. UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak
g. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
h. Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang
penghapusan Ekspoitasi Seksual Komersial terhadap Anak (EKSA) dengan KEPPRES
NO. 87 Tahun 2002.
2. Landasan Filosofi
a. Pembinaan hukum nasional yang menempati
prioritas utama dan mempunyai peran strategi dalam pembangunan hukum di
Indonesia
b. Mengganti perundang-undagan hasil produk
kolial dengan perundang-undangan hasil karya bangsa/putra/I indonesia.
c. Bahwa anak adalah amanah dan karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya
d. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan tiap-tiap warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap
hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
e. Bahwa perlindungan anak dalam segala
aspek merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam
memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
f. Untuk mewujudkan perlindungan dan
kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan
perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya
g. Bahwa terlihat pada undang-undang
sebelumnya hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus
belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak
h. Tanggungjawab berada pada orang tua,
keluarga dan masyarakat untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut
i. Upaya pelaksanaan perlindungan anak
perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandugan sampai
anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
C. Perlindungan Anak yang baik harus
memenuhi :
Guna mewujudkan perlindungan anak yang
memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan kualitas hidup yang
setara dengan perkembangan peradaban manusia pada jamannya. Fenomena ini
menunjukkan bahwa proses menuju tercapainya tingkat perlindungan anak akan
ditentukan pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap jaman memiliki
standar perlindungan anak tersendiri, yang disepakati secara luas dengan
mengacu pada nilai-nilai yang universal.
Analogisnya dapat dilihat dalam iklim
kehidupan bangsa Indonesia, yang menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang
panjang, telah berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat
sebagai bagian dari proes peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya dan akan berkaitan dengan pemberian
perlindungan anak yang meningkat pula.
Perwujudan perlindungan anak yang
berkualitas sebaiknya mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan kalau mungkin sejak
anak dalam kandungan. Insa kecil terebut membutuhkan perlindungan dari orang
tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmai, rohani maupun
sosial kelaknya, sehingga kelak akan menjadi pewaris masa depan yang mempunyai
kualitas.
Oleh karena itu, apabila anak mendapatkan
jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya
kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan serta
peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka perlindungan anak yang baik
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Para partisipan harus mempuyai
pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak.
2. Perlindungan anak harus dilaksanakan
bersama antara setiap warganegara, anggota masyarakat secara induvidual maupun
kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan nasional untuk
mencapai aspirasi bangas Indonesia.
3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan
dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yag rasional, bertanggungjawab dan
bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan
4. Dalam rangka membuat kebijakan dan
rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu diusahakan inventariasi
faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak, dan
harus bersifta perspektif (masa depan).
5. Dalam membuat ketentuan-ketentuan yang
menyinggung dan mengatur perlindungan anak dalam berbagai peraturan
perundang-undangan kita harus mengutamakan perseptif yang diatur dan bukan yang
mengatur
6. Perlindungan anak harus tercermin dan
diwujudkan/dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
7. Dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta
melindungi diri sendiri, dan kemudian kelak menjadi orang tua yang
berpartisipasi postif dan aktif dalam kegiatan perlindungan anak yang merupakan
hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat.
8. Perlindugan anak yang baik harus
mempunyai dasar filosofis, etis dan yuridis
9. pelaksanaan kegiatan perlindungan anak
tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang bersangkutan oleh
karena adanya penimbulan pederitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.
10. perlindungan anak harus didasarkan
antara lain ata pengembangan hak dan kewajiban asasinya.
D. Perlindungan Anak dalam Lapangan Hukum
Perdata
Di kota kota besar dan di daerah perbatasan
kota banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan proses
pembentukan pi badi mereka, sehingga sering terjadi kenakalan anak. Hal ini
terjadi karena mereka lepas dari kendali, pengawasan dan pertumbuhan mental di
luar pengamatan orang tua atau walinya.
Untuk mengikuti gaya hidup anak masa kini,
tanpa memperhitungkan resiko mereka telah terperangkap dalam:
I. Eksploitasi fisik, diataranva seperti:
a. Pekerja / bunih anak di sektor industri
atau perusahaan yang berbahaya.
b. Pengemisan anak terlantar (anak jalanan)
II. Ekploitasi seksual, diataranya seperti:
a. Prostitusi anak
b. Sodomi anak
Perundangan - undangan dalam bidang hukum
perdata untuk anak yang kita miliki adalah jauh lebih memadai daripada bidang
hukum pidana untuk anak. Pada hakekatnya perlindungan anak dalam bidang hukum
perdata meliputi banyak aspek hukum, di antara nya:
1. Kedudukan anak
2. Pengakuan anak
3. Pengangkatan anak (Adopsi)
4. Pendewasaan
5. Kuasa asuh ( hak dan kewajiban) orang
tua terhadap anak.
6. Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh
orang tua
7. Perwalian (termasuk Balai Harta
Peninggalan)
8. Tindakan untuk mengatur yang dapat
diambil guna perlindungan anak
9. Biaya hidup anak yang ditanggung orang
tua akibat perceraian (ahmentasi)
Demi kelangsungan kegiatan perlindungan
anak dan mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluarga, mat.
kepastian hukum haruslah diupayakan. Guna menjamin adanya kepastian hukum bagi
perlindungan anak, haruslah dibentuk undang undang yang mengatur mengenai hak
dan kewajiban secara timbal balik antara yang dilindungi dan yang melindungi.
Oleh karena kebahagiaan anak merupakan pula kebahagiaan orang tua, dan berarti
kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi.
Hak-hak anak dalam bidang hukum perdata
diatur secara garis besar antara lain yang terdapat dalam :
1.Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan
2 Undang-undarig nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak.
3. Undang-undang nomor I tahun 2000 tentang
pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk - bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak
4. Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1988
tentang usaha kesejahteraan anak bagi anak yang mempunyai masalah
5. Peraturan Pemenntah nomor 27 tahun 1990
tentang pendidikan pra sekolah
6. Peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1991
tentang pendidikan luar sekolah
7. Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
tentang orang
8. Kompilasi hukum Islam di Indonesia
Mengenai hak - hak anak, timbul suatu
pertanyaan, sampai dimanakah tanggung jawab kuasa asuh orang tua terhadap anak?
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya. Kewajiban orang
tua berlaku hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana
berlaku terus walaupun perkawman antara kedua orang tua telah putus.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan. ada di bawah kekuasaan orang tua selama
mereka tidak dicabut dari kekuasannnva. Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar gedung pengadilan.
Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan baik sewaktu dalam kandungan ibu maupun setelah lahir. Anak yang
ada dalarn kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Sedang meninggal sewaktu
dilahirkan, maka dianggaplah ia tak pemah telah ada.
Orang tua adalah yang pertama tama
bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak
mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga
anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas, berbudi
pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
dan berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan
hak atau menggadaikan barang - barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan terkecuali jika
kepentingan anak menghendakinya.
Sementara anak wajib menghormati orang tua
dan mentaati kehendak mereka yang baik. Bila anak telah mencapai dewasa, ia
wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Selanjutnya timbul lagi
pertanyaan, apakah dapat diadakan pencabutan kuasa asuh orang tua terhadap
anak? Undang-undang mengenal alasan- alasan untuk mencabut kuasa asuh orang tua
terhadap anaknya. yaitu:
1. Salah seorang atau kedua orangtua
dapatlah dicabut kekuasaannya terhadap seorang atau beberapa orang anak untuk
waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan putusan pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan amat buruk.
Walaupun orang tua telah dicabutnya
kekuasaannya. mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
terhadap anak tersebut.
2. Bilamana orang tua terbukti melalaikantanggungjawabnya
dalarn mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial,
sehingga mengakibatkan timbulnya hanibatan dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pemah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan
orangtua,, maka ia berada di bawah kekuasaan waii. Perwalian tersebut adalah
mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua
yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum Ia meninggal, dengan surat wasiat
ataupun dengan ucapan lisan asalkan dihadapkan 2 orang saksi. Wali
sedapat-dapatnya diambil dan keluarga anak tersebut atau orang lain yang telah
dewasa, berpikiran sehat, adil dan jujur, serta berkelakuan balk. Adapun
kewajiban wali, ialah:
1. Mengurus anak yang berada di bawah
penguasaannya dan harta bendanya sebaik mungkin dengan menghormati agama dan
kepercayaan si anak.
2. Membuat daftar harta benda anak yang
berada di bawah kekuasaannya sewaktu memulai jabatannya dan mencatat segala
perubahan-pwrubahan harga benda itu.
3. Memberi ganti rugi terhadap harta benda
anak yang berada di bawah perwalianya, itupun atas tuntutan anak atau keluarga
anak itu sendiri dengan suatu keputusan pengadilan. Kerugian mana lebih adalah
karena kesalahan atau kelalaian wali dalam hal mengurus harta benda tadi.
Menurut Undang-Undang Perkawinan produk
anak bangsa di jaman orde baru itu, seseorang yang berpredikat sebagai wali
temyata dapat dicabut dari kekuasaan perwaliannya, karena lalai dalam
melaksanakan kewajibannya dan berperilaku sangat jelek terhadap anak. Dalam hal
kekuasaan wali dicabut, maka oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Sedang menurut kompilasi hukum Islam di
negeri ini, pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan
hukum kepada orang lain atas permohonan kerabatnya jika wali tersebut ternyata
penjudi, pemabok, gila dan menyalahgunakan hal sebagai wali, demi kepentingan
orang yang yang berada di bawah perwaliannya.
Selanjutnyaada satu hal yang tidak boleh
ditinggalkan, bahwa di negeri kita ini ada istilah apa yang dinamakan anak
sipil. Anak sipil ialah anak yang atas permintaan orangtuanya atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik pada Lembaga Pemasyarakatan Anak,
paling lama sampai umur 18 tahun.
Dinamakan anak sipil karena anak tersebut
dikenakan tindakan menurut hukum perdata. Anak tersebut diajukan ke persidangan
Ialu diputus dalam perkara perdata dengan menggunakan Kitab Undangundang Hukum
Sipil atau yang lebih populer dengan sebutan Kitab Undang-undang Kitab Perdata.
Anak yang belum dewasa nyata-nyata
melakukan perbuatan sosial (dalam pegertian hukum belum merupakan tindak
pidana), yang tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya atau walinya yang tidak
dapat lagi diharapkan darnya suatu pendidikan yang baik, maka hakim berdasarkan
pasal 302 atau 384 KUHPerdata, atas permohonan orang tua atau wali, dapat
memerintahkan penampungan anak tersebut selku ank sipil dalam Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau lembaga sejenis yang dikelola swasta.
E. Perlindungan Anak dalam Lapangan Hukum
Pidana
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan anak disebabkan oleh beberapa faktor yang antara
lain:
1. Adanya dampak negatif dari perkembangan
pembangunan yang cepat
2 Arus globalisasi di bidang informasi dan
komunikasi
3. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi
4. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian
orang tua
Telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kebidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan
perilaku anak. Disamping itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih
sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku,
penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh
akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang
kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.
Walaupun anak telah dapat menentukan
sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya,
tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Karena itu dalam
menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya
lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan
perilaku anak tersebut.
Mengingat ciri dan sifat anak yang khas,
maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diupayakan agar
anak dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya. Hubungan orang tua
dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun
mental spiritual.
Bilamana hubungan antara orang tua dan anak
kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat
sehingga perlu memisahkan anak dan orang tuanya, hendaklah tetap
dipertimbangkan bahwa pemisahan tadi adalah semata-mata demi pertumbuhan dan
perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar.
Ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh
Kitab Undangundang Hukum Pidana yang penjatuhan Pidananya ditentukan setengah
dari maksimal ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Adapun
penjatuhan pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tidak diperlakukan
terhadap anak.
Perbedaaan perlakuan dan ancaman pidana
tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat
menyongsong masa depan yang masih panjang. Perbedaan itu dimaksudkan pula untuk
memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati
dirinya guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi
keluarga dan masyarakat.
Mengenai sangsi terhadap anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur, yakni bagi anak yang masih berumur 8 hingga 12
tahun hanya dikenakan tindakan belaka, misalkan dikembalikan kepada orang
tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara.
Adapun terhadap anak yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun dijatuhi
pidana.
Demi perlindungan terhadap anak, perkara
anak nakal wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang bemaung dalam lingkungan
peradilan umum. Dengan demikian proses peradilan perkara naak nakal dari sejak
ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib ditangani oleh
pejabat khusus yang benar benar memahami masalah anak
Pengadilan anak merupakan salah satu aspek
hukum dan perlindungan anak. Penyelenggaraan Pengadilan Anak mengutamakan kesejahteraan
anak disamping kepentingan masyarakat. Anak yang mengalami masalah kelakuan
adalah anak yang menunjukan tingkah laku yang menyimpang dan norma - norma
kemasyarakatan.
Sebagai gambaran atau perbandingan dapatlah
diketengahakan disini bahwa pada tabun 1956 di negeri Belanda telah dibentuk
Dewan Perlindungan Anak, yang semula merupakan lembaga pemerintah yang
dinamakan Dewan Perwalian. Dewan Perlindungan Anak tersebut melaksanakan tugas
bukan saja memberikan perlindungan anak dalam bidang hukum perdata, namun juga
melakukan tugas memberi perlindungan anak dalam bidang hukum pidana, sehingga
berfungsi sebagai pusat pedindungan anak di tiap-tiap pengadilan.
Adapun tugas dan kewenangan Dewan
Perlindungan Anak tersebut dapatlah dijabarkan sebagai berikut:
1. Sebagai pihak dalam perkara, mengajukan
permohonan
antara lain:
a. Kuasa asuh terhadap anak yang bélum dewasa
b. Pembatasan kuasa asuh
c. Bertugas mengambil alih kuasa asuh
d. Permukiman kembali kuasa asub
e. Tindakan mempercayakan sementara kepada
Dewan
2. Memberikan penjelasan berupa saran atau
petunjuk antara lain:
a. Kepada hakim, mengenai tindakan tindákan terhadap
kuasa asuh dalam perkara perdata dan pidana.
b. Kepada jaksa, dalam bidang perkara
perdata dan pidana
c. Kepada menteri dalam hal eksekusi
3. Sebagai pengawas, pelaksana dan penengah
untuk mendamaikan, antara lain:
a. Terhadap anak yang belum dewasa yang
dipercayakan kepada dewan
b. Anak yang dijatuhi pidana penjara
c. Anak-anak asuh
4. Mengatur bidang keuangan, antara lain:
Kepada hakim, memberi saran tentang
tunjangan nafkah yang diwajibkan terhadap salah satu orang tua setelah
perceraian sebagai biaya hidup anak (alimentasi). Menentukan jumlah uang yang
harus dibayar melalui dewan tentang tunjangan nafkah. Apabila tidak dibayarkan,
kepada yang bersangkutan, dewan dapat bertindak (bila perlu) melakukan
penyitaan atas upah dari tangan majikan
5. Berfungsi sebagai pusat kegiatan
perlindungan anak di tiap-tiap pengadilan
6. Sebagai pusat dokumentasi, yakni:
a. Dokumentasi untuk pribadi anak yang
belurn dewasa
b. Dokumentasi dan tugas perlindungan anak
Sekarang juga di Indonesia, guna
melaksanakan pengawasan terhadap hak-hak anak dan mengoptimalkan pelaksanaan
perlindungan anak dalam keluanga dan masyarakat, perlu dibentuk suatu lembaga
yang independen, dan yang cocok untuk itu adalah yang bemama Lembaga
Perlindungan Anak. Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak mutlak diperlukan
dalam rangka mengimplementasikan konvensi hak-hak anak, sehingga anak-anak
nakal, anak- anak jalanan, anak-anak terlantar, anak-anak cacat, anak- anak
korban diskniminasi, anak-anak tereksploitasi. dan pekerja / buruh anak merasa
terlindungi
Melindungi anak dari Tindak Pidana
Perlindungan yang diberikan kepada anak oleh KUHP adalah sbb:
1. Menjaga kesopanan anak (pasal 283 KUHP)
, melarang orang dewasa . Kepada anak-anak.
2. Larangan bersetubuh dengan orang yang
belum dewasa (pasal 287 KUHP)è Delik Aduan bila usia < 15 Tahun, Delik Laporan bila Usia <
12 tahun.
3. Larangan berbuat cabul dengan anak (
pasal 290 KUHP)
4. Melarang orang menyuruh anak (P/L)
berbuat cabul (pasal 295 KUHP)
5. Larangan menculik anak ( Pasal 330 KUHP)
< 21 tahun
6. Larangan Menyembunyikan orang belum
dewasa (pasal 331 KUHP) Usia <21 span="" tahun="">21>
7. Larangan melarikan perempuan belum
dewasa (Pasal 332 KUHP) usia < 21 tahun
F. Kedudukan peradilan Anak
Bagaimana kedudukan pengadilan anak
terhadap badan pengadilan lain di lingkungan peradilam umum?, dalam
undang-undang kekuasaan kehakiman Pasal 10 UU No. 14/1970 Peradilan anak itu
berada di bawah Peradilan Umum, Jadi yang diatur secara istimewa dalam
undang-undang Pengadilan Anak itu hanyalah masalah acara sidangnya yang berbeda
dengan acara sidang anak, ada pada peradilan umum (pasal 2 UU No.3/1997) yang
menyangkut Anak Nakal yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan
yang dinyatakan terlarang bagi anak. Baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
bersangkutan. Adapun menurut udang-udang No. 3/1997 anak nakal adalah :Pasal 1
ayat (2)
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik meurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Berkaitan dengan kewenangan pengadilan
sejenis mana (pengadilan Anak Pengadilan Negeri) untuk memeriksa dan mengadili
perkara itu, maka untuk menentukan kompetensi relatif pengadilan negeri mana
yang berhak memeriksa perkara tersebut, hendaklah memperhatikan tempat di mana
tidak pidana itu dilakukan (locus delict), sesuai pasal 2 KUHP, locus delicti
dapat ditentukan sebagai berikut :
a. Leer Van de lichamelijke daat, teori ini
disebut teori perbuatan material, yang mengatakan locus delicti adalah tempat
di mana pelaku melakukan tindak pidana itu.
b. Leer van het instrument, adalah teori
alat yang dipergunakan yang mengatakan bahwa delik dilakukan (locus delicti)
ditempat di mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya. Atau dengan kata
lain locus delicti adalah tempat di mana alat yang dipergunakan mengakibatkan
tindak pidana.
c. Leer van gevolg, adalah teori alat yang
mengatakan locus delicti adalah tempat di mana akibat dari perbuatan itu
terjadi
G. Asas – asas pengadilan Anak
Undang-undang Pengadilan Anak
(Undang-undang No. 3 Tahun 1997) dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas,
yang membedakannya dengan sidang pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas
itu adalah sebagai berikut:
1. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo.
Pasal 4 ayat (1).
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam
acara Pengadilan Anak ditentukan secara imitatif, yaitu minimum berumur
8(delapan) tahun dan maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun; dan belum
pernah kawin.
2. Ruang Iingkup masalah dibatasi (Pasal 1
ayat 2).
Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang
Pengadilan Anak hanyalah terbatas menyangkut perkara Anak Nakal.
3. Ditangani Pejabat khusus (Pasal 1 ayat
5, 6 dan 7). Undang-undang No. 3 Tahun 1997 menentukan perkara Anak Nakal harus
ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:
a. Di tingkat penyidikan oleh penyidik
anak;
b. Di tingkat penuntutan oleh penuntut umum
anak;
c. Di pengadilan oleh hakim anak, hakim
banding anak dan hakim kasasi anak.
4. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1
ayat (11). Undang-undang Pengadilan Anak mengakui peranan dan:
a. pembimbing kemasyarakatan;
b. pekerja sosial; dan
c. Pekerja sosial sukarela
5. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal
42 ayat 1).
Pemeriksaan perkara di pengadilan diiakukan
daiam suasana kekeluargaan. OIeh karena itu hakim, penuntut umum dan penasihat
hukum tidak memakai toga.
6. Keharusan splitsing (Pasal 7).
Anak tidak boleh diadili bersama dengan
orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun mititer. Kalau terjadi anak
melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa. maka si anak diadili dalam
sidang pengadilan anak, sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa, atau
apabila ia berstatus militer di peradilan militer.
7. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat
1).
Acara pemeriksaan di sidang pengadilan anak
dilakukan secara tertutup. ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi
putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
8. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14
dan 18).
Hakim yang memeriksa perkara anak, baik di
tingkat Pengadilan Negeri, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
9. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44
sampai dengan 49).
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat
dibanding masa penahanan menurut KUHAP.
10. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai
dengan 32).
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak
nakal, lebih ringan dan ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal
untuk anak nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.
H. Tata tertib Sidang Anak
SEMA No. 6 Tahun 1987 tanggal 17 Nopember
1987 tentang tertib sidang anak dan menunjuk pula pada Bab II pasal 9 sampai
dengan pasal 12 Peraturan Menteri Kehakiman (PERMENKEH) No.M.06—UM.O1.06
Tahun 1983. Maka tata tertib sidang anak sebagai berikut :
1. Pengadi1an mengadakan suatu Register
tersendiri untuk perkara anak, dan menetapkan hari-hari sidang tertentu, dan
ruang tertentu untuk perkara tersebut.
2. Ketua pengadilan menunjuk Ibu atau Bapak
Hakim yang mempunyai perhatian (Interesse) terhadap masalah anak, hingga Ibu
atau Bapak hakim tersebut, selain menyidangkan perkara biasa, juga menyidangkan
perkara anak (telah mengomentari Rule Beijing Rules bahwa perlu pendidikan dan
latihan khusus bagi aparat penegak hukum).
3. Sidang anak dilakukan dengan hakim
tunggal, kecuali dalam tertentu oleh ketua pengadilan negeri dapat dilakukan
riksaan dengan hakim majelis (Beijing Rules 14 juga unvai komentar yang
senada).
4. Pemeriksaan dilakukan dengan sidang
tertutup dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka, ini menjaga agar anak-anak
tidak dipublikasikan oleh pers. Karena bila sampai identitas anak dan
perkaranya dimuat dalam mass media, maka akan merupakan trauma bagi anak
dikelak kemudian hari dan secara psikologis akan mempengaruhi perkembangan
anak. Ia akan dikucilkan oleh teman-temannya apabila diketahui ia sedang
disidangkan
5. Baik, Hakim atau Jaksa maupun Penasehat
Hukum tidak mungkin tega. Ini mencerminkan adanya asas-asas kekeluargaan,
dimana hakim di dalam memeriksa apa yang menjadi sebab si anak melakukan tindak
pidana haruslah dengan lemah lembut, hingga si anak mempunyai keberanian untuk
menceritakan penyebabnya. Penyebab ini penting untuk diketahui, hingga hakim
dapat memilih hukuman apa yang cocok diberikan kepada si anak, hingga dapat
diharapkan si anak kembali ke jalan yang benar. Kita tentu masih ingat bahwa
sidang anak adalah untuk kepentingan anak dengan tidak mengorbankan kepentingan
masyarakat, dengan catatan kepentingan anak harus didahulukan daripada
kepentingan masyarakat (sesuai dengan Beijing Rules 14.2).
6. Pada sidang anak, orang tua, wali atau
orang tua asuh harus hadir. Hal ini untuk menjaga agar orang tua tidak
melupakan tanggung jawabnya terhadap anaknya. Sering terjadi orang tidak
mengetahui tingkah laku anaknya diluar rumah sehingga sianak berbuat melangar
hukurn dan apabila orang tua mendengar apa yang sesungguhnya terjadi
dipersidangan, mereka menjadi terheran-heran dan sama sekali tidak mendengar
sianak berbuat demikian dan hikmahnya, untuk di masa mendatang orang tua dapat
memperbaiki hubungan mereka dengan anaknya. Tindakan yang demikian itu tidak lain
untuk melindunggi anak dan masa depannya.
7. Hadirnya pembimbing pemasyarakatan dari
Departemen Kehakiman (BISPA) untuk memberi/laporan sosialnya tentang si anak.
I. Upaya Hukum dalam Pengadilan Anak
Hakim Pengadilan Anak Hakim anak (pasal 1
ayt 5) adalah hakim yang ditetapkan berdasarkan SK Ketua MA atas usul dari
Ketua PN melalui Ketua PT (pasal 9) dengan persyaratan yang ditentukan oleh
Pasal 10 UU No.3/1997 :
a. Hakim Pengadilan negeri
1. Telah berpengalaman sebagai hakim di
pengadilan dalam lingkungan PN
2 Mempuyai minat, perhatian, dedikasi dan
memahami masalah-masalah anak
b. Hakim Banding Anak (Pasal 1 ayat 8)
Tata cara pengangkatan hakim banding anak
diatur dalam pasal 1 ayat 8, pasal 12.
c. Hakim Kasasi Anak (pasal 1 ayat 9 dan
pasal 18).
d. Peninjauan kembali (PK)
Menurut pasal 263 KUHAP. PK dapat dilakukan
terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap.
PK Dapat dilakukan terhadap Putusan
tersebut (pasal 20 UU No.3/1997) dengan syarat yang meminta PK adalah :
1. Novum
2. Alasan putusan bertentangan satu sama
lain
3. Terdapat kekeliruan /kekhilafan hakim
4. Perbuatan yang didakwakan terbukti,
tetapi tidak dihukum
Terpidana, Orang tua, Wali, orang tua asuh,
Penasehat Hukumnya ke MA
J. Sanksi terhadap anak Nakal
1. Untuk anak yang melakukan TP dapat
dihukum è Penjara, Pidana Kurungan, Denda, Pidana pengawasan
2. Untuk anak yang berumur kurang dari 12
tahun dan melakukan TP. Tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana melainkan
menyerahkan anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja (pasal 24 (1 huruf a)
3. Pidana penjara maksimal 2 tahun dapat
dijatuhkan pidana bersyarat, dan pengawasan dilakukan oleh JPU dan BAPAS
4. Pidana pengawasan = 2 tahun. Merupakan
pidana khusus yang dikenakan untuk anak yang dilakukan pengawasan oleh JPU di
rumah anak tsb. (Pasal 1 ayat 2 jo pasal 30 UU No.3/1997.)
5.Anak yang belum berumur 8 tahun, walaupun
melakukan TP, belum dapat diajukan ke sidang pengadilan anak :
§ Diserahkan kepada orang tua/wali/orang tua asuh
§ Diserahkan kepada negara
§ Diserahkan kepada Departemen sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan
K. Lembaga Pemasyarakatan ((Pasal 60 UU
No.3/1997)
Pemasyarakatan adalah suatu kegiatan untuk
melakuan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sisem
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan Tempat pendidikan dan pembinaan
bagi Anak Pidana, Anak Negara, Anak Sipil dan merupakan bagian akhir dari
sistem pemidanaan. Sedangkan untuk anak pidana yang belum selesai menjalani
masa pidananya di LP Anak, setelah berumur 18 tahun, dan belum berumur 21 tahun
di pindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa tetapi penahannya/penempatannya
di pisahkan dari tahanan yang berusia 21 tahun lebih .
Adapun yang termasuk dalam Binaan Lembaga
Pemasyarakatan (BAPAS) yang lajim disebut dengan Klien Pemasyarakatan (pasal 1
angka 9 UU No.12/1995) adalah :
1.Terpidana bersyarat : (pasal 62 UU
No.12/1995)
adalah seseorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi ia
tidak dibina di Lembaga pemasyarakatan, melainkan dikenakan hukuman bersyarat,
denda, dll.
2. Nara Pidana, anak pidana, dan anak
negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat Adalah terpidana yang menjalani
pidana, dan mendapatkan pembebasan bersayarat atau sedang cuti menjalani
hukuman menjelang bebas.
L. Perbedaa Masa Penahanan Anak dan Orang
Dewasa
MASA PENAHANAN
PELAKU PENAHANAN ANK IZIN (+) Demi Hukum
DEWASA IZIN (+) Demi Hukum
Dilepas Dilepas
Penyidik 20 JPU 10 30 20 JPU 40 60
JPU 10 Ketua PN 15 25 30 Ketua PN 30 60
Hakim PN 15 Ketua PN 30 45 30 Ketua PN 60
90
Hakim Banding 15 Ketua PT 30 45 30 Ketua PT
60 90
Hakim Kasasi 25 Ketua MA 30 55 50 Ketua MA
60 110
Lama masa penahanan 85 115 >< 160 250
HARI 200 HARI 1/2 HARI 410 HARI
BAB III
PENGANGKATAN ANAK
A. Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan
Anak
Istilah “Pengangkatan Anak” berkembang
di Indonesia sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris Adoption, yang berarti “mengangkat
seorang anak, anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai
hak yang sama dengan anak kandung” . Dalam bahasa Belanda, Adopsi berasal dari kata adoptie, yang
berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri” . Lembaga
pengangkatan anak, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan istilah
Adopsi yang berarti “pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak
sendiri” .
Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan, Adopsi
adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang
diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk
mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak
beranak. Akibat dari pengangkatan anak yang demikian itu adalah bahwa anak yang
diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala
hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak itu, calon orang tua
harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan
bagi anak.
Menurut DR. JA. Nota, seorang sarjana hukum
yang khusus belajar tentang adopsi berpendapat, adopsi adalah suatu lembaga
hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang berpindah ke dalam ikatan
keluarga yang lain (baru), dan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara
keseluruhan/sebahagian hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang
anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.
Meskipun ada yang membedakan antara
pengertian adopsi dengan anak angkat, menurut Muderis Zaini, hal ini hanya
dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi
yang dikenal dalam hukum barat, dalam bahasa Arab disebut Tabanni, mengandung
pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak
kandung sendiri dengan konsekuensi, ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama
pula. Sedangkan istilah anak angkat adalah pengertian menurut hukum adat, dalam
hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian sesuai dengan
keanekaragaman sistem adat di Indonesia.
Penulis menyimpulkan, pengangkatan anak
(Adopsi, al-Tabanni), yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak
sendiri. Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “Pengangkatan Anak” dan istilah
inilah yang dalam pembahasan selanjutnya akan digunakan untuk mewakili istilah
adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan,
khususnya dalam hukum keluarga.
Sebagaimana diketahui, ketentuan peraturan
perundang-undang mengatur tentang.pengangkatan anak sudah ada di zaman sebelum
perang di Indonesia, yaitu sebagaimana diatur dalarn “Staatsblad” Tahun 1917 No. 129. Dalam Bab II
Staatsb1ad tersebut diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi
orang-orang Tiongha..
Kemudian setelah zaman kemerdekaan yaitu
pada tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganega
Republik Indonesia. Dalam Undang-undang tersebut, yang berkaitan dengan
pengangkatan anak dimuat dalam pasal. 2. Undang-undang tersebut dimuat dalam
Lernbaran Negara Tahun 1958 No. 115, Tambahan Lembaran Negara No. 1647.
Kemudian pada Tahun 1978, jadi dua puluh
tahun kemudian, dikeluarkanlah Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal24 Februari
1978. Surat Edaran tersebut mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga
negara Indonesia oleh orang asing.
Pada tahun 1979, dikeluarkanlah
undang-undang No. 4 Tahun 79 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam pasal 12
Undang-undang tersebut ditentukan tentang motif pengangkatan anak yaitu untuk
kepentingan kesejahteraan anak. Undang-undang No. 4 tahun 1979 itu dimuat dalam
Lembaran Negara Tahun 1979 No.52, Tambahan Lembaran Negara No. 3145. Dan yang
terakhir pada tahun 1983 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung RI No. 6 tahuri 1983. Surat Edaran tersebut merupakan penyempurnaan dari
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No: 2 Tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.
Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam
mengambil Putusan atau ketetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.
Sebagaimana telah dijelaskan di. muka,
peraturan perundang undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak terdapat
pada :
1. “Staatsladd’ tahun 1917 Nomor 129;
2. Undang—undang Nornor 62 tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Repub1ik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 113
Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1647);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Repub1ik Indonesia Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143);
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan nomor JHA 1/1/2 tanggal. 24 Februari 1978 tentang prosedur
Pengangkatan Anak warganegara Indonesia oleh Orang Asing.
5. Surat Edaran Mahkarnah Agung RI No. 6
tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 mengenai
Pengangkatan Anak.
Dibawah mi akan diuraikan secana
berturut-turut mengenai peraturan perundang-undangan yang dimaksud di atas.
1. Staatsblad tahun 1917 No. 129. Bab II
Staatsblad
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(BW), tidak ditemukan satu ketentuan pasal pun yang mengatur masalah
pengangkatan anak. BW hanya mengatur ketentuan tentang pengakuan anak di luar
kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab XII bagian ketiga BW,
tepatnya pada Pasal 280-289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan
terhadap anak-anak di luar kawin.
Pengangkatan anak merupakan salah satu
perbuatan manusia yang termasuk perbuatan perdata yang merupakan bagian Hukum
kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan persoalan dari setiap yang
berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimanapun juga lembaga
pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri,
yang terus beranjak ke arah kemajuan. Dengan demikian , karena tuntutan
masyarakat walaupun dalam BW tidak mengatur masalah pengangkatan anak ini,
sedang pengangkatan anak itu sendiri sangat lazim terjadi di masyarakat, maka
Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri
tentang pengangkatan anak ini. Karena itulah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda Staatsblad Nomor 129 tahun 1917, khusus Pasal 5 -15 yang mengatur
masalah pengangkatan anak untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah
Staatsblad 1917 Nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur
pengangkatan anak bagi kalangan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan
golongan Timur Asing.
Oleh karena hanya satu-satunya Staatsblad
1917 No. 129 seperti disebutkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang merupakan
kelengkapan dari BW yang ada, maka untuk mengemukakan data pengangkatan anak
menurut versi Hukum Barat ini semata-mata beranjak dari Staatsblad tersebut.
Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129 mengatur
tentang siapa saja yang boleh mengangkat anak, yaitu :
(1) Dalam hal seorang laki-laki beristeri
atau telah pernah beristeri tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam
garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak.
(2) pengangkatan yang demikian harus
dilakukan oleh seorang laki-laki tersebut, bersama-sama dengan istrinya atau
jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri.
(3) aApabila kepada seorang perempuan janda
yang tidak telah kawin lagi, oleh suaminya yang telah meninggal dunia, tidak
ditinggalkan seorang keturunan sebagai termasuk ayat ke satu pasal ini, maka
bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya. Jika si suami yang
telah meninggal dunia telah membuat surat wasiat dan menyatakan tidak
menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya, maka pengangkatan itu pun tidak
boleh dilakukannya.
Dari ketentuan di atas, maka yang boleh
mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki
, seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki ataupun seorang janda yang
juga tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak
ditinggalkan berupa amanah, yaitu berupa surat wasiat dari suaminya yang
menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Disini tidak diatur secara
konkret mengenai batasan usia dan orang yang belum berkawin untuk mengangkat
anak.
Pasal 6 dan 7 Staatsblaad 1917 No. 129
mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi, yaitu
Pasal 6
Anak yang boleh diangkat adalah orang-orang
Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak
telah diangkat oleh orang lain.
Pasal 7
(1) orang yang diangkat harus paling
sedikitnya 18 tahun lebih muda daripada suami dan paling sedikit 15 tahun lebh
muda daripada si isteri atau si janda yang mengangkatnya.
(2) apabila yang diangkat seorang anggota
keluarga, baik yang sah maupun anak luar kawin, maka hubungan keturunannya
haruslah sama derajatnya seperti halnya derajat yang ia peroleh karena
keturunan.
Dari ketentuan tersebut, batasan usia hanya
disebutkan selisih antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat,
sedangkan orang yang dapat diangkat hanyalah mereka yang berbangsa Tionghoa
laki-laki yang tidak beristeri, apabila beranak, juga disyaratkan yang tidak
telah diangkat oleh orang lain. Jadi untuk anak perempuan tidak boleh diangkat.
Tidak ada batasan apakah yang diangkat itu harus anak dari keluarga dekat atau
di luar keluarga atau juga orang asing. Hanya ditekankan, bahwa manakala yang
diangkat adalah orang yang sedarah, baik keluarga yang sah maupun keluarga luar
kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya pada moyang kedua belah pihak
bersama haruslah memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat
keturunannya karena kelahiran sebelum ia diangkat.
Mengenai masalah motif/tujuan mengangkat
anak, tidak ada satu pasal pun dikemukakan dalam Staatsblaad 1917 No. 129 ini.
Hanya sebagai pedoman, bahwa yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki .
Sedang untuk anak perempuan dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu
Pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan anak dengan cara
lain kecuali dengan akte otentik adalah batal demi hukum.
Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari
satu sistem kepercayaan adat Tionghoa bahwa anak laki-laki dianggap oleh
masyarakat Tionghoa untuk melanjutkan keturunan mereka. Di samping itu pula,
anak laki-laki dianggap dapat memelihara abu leluhur orang tuanya. Oleh karena
itulah kebanyakan dari orang Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat
orang lain. Kecuali apabila keluarga tersebut tidak mampu lagi memberikan
nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya.
Selain motif di atas, bisa pula
dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan, bahwa dengan mengangkat anak ini, maka
di kemudian hari akan mendapat anak kandung sendiri. Jadi anak itu sebagai “pancingan” untuk bisa
mendapatkan anak kandung sendiri.
Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh
Pasal 8-10 Staatsblaad 1917 No. 129, yaitu :
Pasal 8
Untuk pengangkatan anak diperlukan
syarat-syarat sebagai berikut, yaitu :
1. Persetujuan orang yang mengangkat anak
2. a. Jika anak yang diangkat itu adalah
anak sah dari orang tuanya maka diperlukan izin orang tuanya, jika bapaknya
sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari
walinya dan dari Balai Harta Peninggalan selaku penguasa wali.
b. Jika anak yang akan diangkat itu lahir
di luar perkawinan, maka diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui
sebagai anaknya, manakala anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka
harus ada persetujuan dari walinya serta dari Balai Harta Peninggalan
3. Jika anak yang akan diangkat itu sudah
berusia 15 tahun, maka diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri.
4. Jika yang akan mengangkat anak adalah
seorang perempuan janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan
ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah
yang masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada
persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dari garis
laki-laki sampai derajat keempat.
Berdasarkan Pasal 9, Persetujuan yang
dimaksud dalam Pasal 8 butir 4 di atas, dapat diganti dengan izin dari
Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat anak tadi.
Pasal 10
(1) pengangkatan anak ini harus dilakukan
dengan akte notaris.
(2) Pihak-pihak yang menghadap notaris
dilakukan dengan menghadap sendiri atau dengan kuasa khusus yang dibuat oleh
notaris
(3) Orang-orang yang dimaksud dalam Pasal 8
butir , kecuali ayah atau wali dari orang yang akan diadopsi, dapat secara
bersama- sama atau sendiri-sendiri memberikan persetujuannya juga dengan akta
notaris dan hal demikian disebutkan dalam akta pengangkatan anak
(4) Setiap orang yang berkepentingan dapat
meminta agar pada akta kelahiran anak angkat, pada sisi akta dicantumkan
tentang pengangkatan anak itu.
(5) Hal yang tidak dicantumkan tentang
pengangkatan tersebut pada sisi akta kelahiran orang yang diangkat, tidak dapat
digunakan untuk menyangkal adanya pengangkatan anak tersebut.
Sedang yang menyangkut dengan masalah
akibat hukum dari pengangkatan itu diatur dalam Pasal 11, 12, 13 dan 14
Staadstblad 1917 No.129.
Pasal 11
pengangkatan anak membawa akibat hukum
bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti
menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti nama keturunan
orang yang diangkat itu.
Pasal ini secara jelas menjelaskan bahwa
anak yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua yang
mengangkatnya, nama orang tuanya berganti dengan nama ayah angkatnya atau ibu
angkatnya dan secara otomatis terputus hubungan dengan orang tua kandung.
Pasal 12 menyatakan anak angkat sebagai
anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat. Sedangkan Pasal 13
mewajibkan Balai Harta Peninggalan untuk mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan apabila ada seorang janda yang akan mengangkat seorang anak, guna
mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu.
Pasal 14
Karena pengangkatan anak berakibat putusnya
hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya sendiri
dan saudara sedarah, kecuali :
1. Mengenai larangan kawin berdasarkan atas
kekeluargaan
2. Mengenai peraturan hukum pidana yang
berdasarkan tali kekeluargaan
3. Mengenai perhitungan biaya perkara di
muka hakim dan penyanderaan
4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi
5. Mengenai bertindak sebagai saksi
Staatsblad 1917 No. 129 tidak mengatur
hak-hak yang kemungkinan dapat diperoleh orang tua angkat terhadap anak
angkatnya, misalnya hak nafkah apabila orang tua angkat di kemudian hari kurang
mampu sedangkan anak angkatnya mampu, hak waris jika anak angkatnya meninggal
dunia lebih dulu, dan lain-lain. Namun berdasarkan teori hukum, hak-hak yang
diperoleh anak angkat dari orang tua angkatnya akibat pengangkatan anak,
berdasarkan tafsir acontrario orang tua angkat dapat memperoleh hak-hak dari
anak angkatnya sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak angkat dari orang tua
angkatnya.
Dalam hubungannya dengan masalah pembatalan
suatu pengangkatan anak, diatur dalam Pasal 15, yang menyebutkan bahwa
pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri.
Kemudian pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak dengan cara lain
tanpa akte notaris adalah batal dengan sendirinya. Kemudian pula ditentukan
bahwa pengangkatan anak dapat dibatalkan, apabila bertentangan dengan Pasal 5,
6, 7, 8, 9, dan 10 ayat (2) dan (3) dari Staatsblaad 1917 No. 129 tersebut.
Staatsblad tersebut mengatur tentang
pengangkatan anak Yang khusus berlaku bagi orang-orang Tonghoa (istilah yang
digunakan untuk pengangkatan anak dalam Staatsbald Tahun.1917 No. 129 tersebut
adalah “adoptie”).
Menurut ketentuan dalam S.1917 No 129, Yang
dapat mengangkat anak adalah laki-laki beristri atau pernah beristri dan tidak
mempunyai keturunan anak laki-laki dalam garis laki-laki. Sedangkan yang dapat
diangkat sebagai anak hanyalah anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum
diambil sebagai anak angkat oleh orang lain.
Anak angkat tersebut selanjutnya
menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum
yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputusnya
hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Berdasarkan yurisprudensi (Putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Tahun 1963), ketentuan dalam s. 1917 No. 12
9 tersebut mengalami perubahah yang memungkinkan pengangkatan anak perempuan
(tertanggal 29 Mel 1963 No. 907/1963P).
Dari ketentutan-ketentuan tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang Tiohoa
sebagaimana diatur dalam S. 1917 No. 129, pada asasnya adalah untuk meneruskan
atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.
Namun pengadilan Negeri Istimewa Jakarta
tersebut dalam pertimbangan hukumnya menyatakan dengan tegas bahwa peraturan
adopsi Thonghoa seperti tercantum dalam pasal 5 dan seterusnya (S.1917 No.129)
sudah tidak mempunyai hak hidup lagi, karena bertentangan dengan undang-undang
Dasar 1945. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa Warga Negara Indonesia Keturunan
Tionghoa di Indonesia telah lama meninggalkan Hukum Adat Tionghoa yang menarik
garis keturunan secara patrilinial serta penghormatan nenek moyangg, sehingga
sekarang lebih bercorak parental. Putusan pengadilan Negeri Istimewa Jakarta
ini bagaimanapun juga menunjukkan adanya kemajuan di bidang Yurisprudensi
karena merupakan suatu terobosan terhadap hukum adat Tionghoa yang disesuaikan
dengan hukum positif di Indonesia.
2. Undang-undang No. 62 tahun 1958 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 115,
Tambahan Lembaran Negara No. 1674)
Dalarn Undang-undang No. 62 Tahun 1958,
yang berkaitan dengan pengangkatan anak dapat dijumpai pada pasal. 2, yang
lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
(1).Anak asing yang belum berumur 5 tahun
yang diangkat oleh seorang warganegara Republik Indonesia, Memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan
Negeri dari tempat tinggal. orang yang mengangkat anak itu.
(2).Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri
termakaud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat tersebut dalam satu tahun
setelah pengangkatan itu atau dalam satu tahun setelah Undang-undang ini mulai
berlaku.
Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 62
Tahun 1958 yang menyangkut pengangkatan anak terrnaksud dalam pasal 2,
dinyatakan sebagai berikut:
“Pengangkatan adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak sahnya
pengangkatan anak itu ditentukan oleh hukum yang menyangkut anak. Adakalanya
anak yang diangkat itu anak (orang) asing, akan tetapi benar betul-betul
diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal
orang itu”.
“Maka hendaknya pada anak demikian itu diberikan status orang tua
yang mengangkatnya”.
“Sebagai jaminan bahwa pengangkatan itu sungguh-sungguh pengangkatan
sebagai digambarkan di atas dan supaya anak asing yang diangkat itu betul-betul
masih bisa merasa warganegara Indonesia, maka pemberian kewarganegaraan
Republik Indonesia kepada anak angkat itu hendaknya dibatasi pada anak yang
masih muda sekali”.
Sebagaimana diketahui pasal 2 membatasi
usia anak asing yang boleh diangkat sebagai anak angkat oleh warganegara
Republik Indonesia, adalah yang belum berumur 5 tahun.
Dari ketentuan Pasal 2 dan penjelasan umum
Undang-undang No. 62 Tahun 1958 termaksud di atas tersirat tujuan pengangkatan
anak asing oleh seorang warganegara Republik Indonesia adalah terutama untuk
kepentingan kesejahteraan anak. Hal ini dapat disimpulkan dari materi ketentuan
pasal 2 dan penjelasan umum Undang-undang No.62 Tahun 1958 yaitu antara lain:
- batas usia anak asing yang boleh diangkat
(dibawah 5 tahun/ < 5 )
- pengangkatan termaksud harus disahkan
oleh pengadilan negeri dalamjangka waktu satu tahun setelah pengangkatan anak.
- anak asing yang diangkat sebagai anak
angkat o1eh seorang warganegara Republik Indonesia termaksud diarahkan agar
benar-benar dapat merasakan dan meyakini dirinya sebagai warganegara Republik
Indonesia.
3. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979
Tentang kesejahteraan anak dengan tegas ditentukan motif dan anak yang
dikehendaki dalaxnpengaturanhukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk
kepentingan kesejahteraan anak. Hal tersebut dapat diketahui dan perumusan
pasal 12 yang lengkapnya berbunyi
(1) pengangkatan anak menurut adat dan
kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
(2) kepentingan kesejahteraan anak yang
termaksud dalain ayat (1) diaur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3). Pengangkatan anak untuk kepentingan
kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Bertolak dad ketentuan Pasal 12
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 termaksud, maka isi dan semangat dad peraturan
perundang-undangan nasional yang akan datang tentang pengangkatan anak harus
mencerminkan pengutamaan kepentingan kesejahteraan anak.
4. Surat Edaran DirekturJenderal Hukum dan
Perundangundangan Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 tentang Prosedur
Pengangkatan Anak Warganegara Indonesia oleh Orang Asing.
Berdasarkan Surat Edaran tersebut,
pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan
dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan
tersebut dilakukan dengan akta notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.
Selanjutnya dalam Surat Edaran tersebut, ditentukan pula syarat-syarat
permohonan pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing, dan
ditentukan bahwa permohonan itu harus diajukan di Pengadilan Negeri di
Indonesia ( di mana anak yang akan diangkat berdiam).
Selanjutnya ditentukan pula bahwa pemohon
harus berdiam atau ada di Indonesia, dan pemohon beserta isteri harus menghadap
sendiri di hadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon
betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat. Ditentukan pula bahwa
pemohon beserta isteri. berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya
mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada
semua Notaris, wakil Notaris sementara, dan Notaris pengganti di seluruh
Indonesia.
Surat Edaran tersebut dikeluarkan
berdasarkan. alasan karena pada saat itu jumlah pengangkatan anak warganegara
Indonesia oleh orang asing ternyata makin meningkat. Di samping itu juga karena
masalah pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing pada saat itu
mulai mendapat sorotan masyarakat karena:
a. Tidak ada persyaratan untuk pengangkatan
anak internasional yang memberikan jaminan yang baik bagi kesejahteraan anak
yang diangkat
b. Legalitas prosedur pengangkatan anak
tersebut kadang-kadang diragukan oleh Pemerintah negara lain yang
warganegaranya mengangkat anak Indonesia.
c. Tidak ada keseragaman prosedur
pengangkatan anak tersebut.
5. Surat Edaran Menteri Sosial Republik
Indonesia tertanggal 7 Desember 1978 Nomor: Huk. 3-1-58-78
Surat Edaran ini merupakan petunjuk
sementara dalam Pengangkatan Anak (Adopsi) Internasional. Dasar pertimbangan
yang dapat diangkat dari Surat Edaran tersebut adalah bahwa sampai sekarang di
Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pengangkatan anak (adopsi) secara nasional dan berlaku umum. Yang berlaku umum
di Indonesia adalah pengangkatan anak dalam lingkungan famili yang berbeda-beda
di beberapa daerah berdasarkan adat yang berlaku di daerah masing-masing dan
pengangkatan anak antara orang Indonesia melalui proses Pengadilan.
Dasar pertimbangan selanjutnya adalah bahwa
masalah pengangkatan anak (adopsi) ini hangat dipersoalkan, terutama karena
adanya adopsi antar negara dimana anak-anak Indonesia di adopsi oleh keluarga
asing dan semakin meningkatnya permintaan anak-anak Indonesia oleh
keluarga-keluarga di Amerika, Eropa dan Australia.
Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan,
bahwa sementara menunggu peraturan perundang-undangan lebih lanjut mengenai
adopsi, maka dalam menghadapi kasus-kasus tersebut terutama apabila dimintakan
pendapat atau rekomendasi dari pihak-pihak yang berkepentingan guna bahan
penetapan oleh Pengadilan Negeri, supaya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Batas umur anak yang akan diangkat
sedapat mungkin tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
2. Batas umur calon orang tua angkat
sedapat mungkin tidak lebih dari 50 (lima puluh) tahun dan dalam keadaan
bersuami istri.
3. Anak yang akan diangkat jelas asal
usulnya.
4. Bila masih ada orang tua anak, harus ada
persetujuan tertulis yang dilengkapi dengan saksi.
5. Ada bukti tanda persetujuan dari
instansi yang berwenang dari negara asal, bahwa calon orang tua angkat adalah
betul-betul telah disetujui untuk mengangkat anak dalam keadaan
mampu, baik material maupun sosial.
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada
Kepala, Kantor Wilayah Departemen Sosial seluruh Indonesia, dengan menekankan
bahwa yang menjadi perhatian bagi Departemen Sosial dalam hal pengangkatan anak
[adopsi] adalah kepentingan kesejahteraau anak. Oleh karena itu, dalam menghadapi
kasus-kasus pengangkatan anak [adopsi] yang pertama-tama perlu diperhatikan
adalah, bahwa dengan pengangkatan anak/adopsi tersebut akan terjamin kehidupan,
perkembangan secara wajar, dan kesejahteraan si anak. Selanjutnya ditekankan
dalam Surat Edaran tersebut , bahwa hal yang ditentukan dalam Surat Edaran di
atas supaya dijadikan pula pegangan dalam kasus-kasus adopsi yang sudah diputus
oleh Pengadilan dan dimintakan rekomendasi untuk kepentingan izin ke luar (exit
permit) dari Imigrasi.
Demikianlah isi Surat Edaran Menteri Sosial
tanggal 7 Desember 1978 Nomor Huk. 3 - 1 - 58-’78 yang merupakan petunjuk-petunjuk
sementara dalam menghadapi kasus-kasus pengangkatan anak/adopsi internasional
untuk diperhatikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial Seluruh
Indonesia.
6. Surat Menteri Koordinator Bidang Politik
dan Keamanan tertanggal 27 Maret 1980 No: B.112/MENKO/POLKAM/3/1980.
Surat Menteri Koordinator Bidang Politik
dan Keamanan tersebut ditujukan kepada Menteni Kehakiman untuk menjadi perhatian.
Dijelaskan dalam surat tersebut, bahwa pada prinsipnya Polkam sependapat dan
menunjang saran dari Menko Kesra. Namun demikian hendaknya masih disediakan
suatu klausula yang membuka kemungkinan pengangkatan anak oleh suatu keluarga
asing berdasar persyaratan yang sangat istimewa, berdasarkan alasan yang
ditentukan dalam Surat Menko Polkam tersebut sebagai berikut:
a. Pengangkatan anak dalam sistem hukum
Negara manapun pada dasannya adalah perbuatan kemanusiaan yang sangat mulia dan
mempunyai pengaruh kejiwaan yang positif bagi kedua belah pihak. Sesungguhnya
yang patut dicegah dalam Adopsi adalah pnaktek adopsi internasional maupun
nasional yang benmotif atau yang mengarah ke motif perdagangan anak.
b. Di dalam kenyataan sosial di negara
manapun hubungan pribadi antar warganegara dan berbagai negara yang benar-benar
bernilai moral untuk melakukan kebajikan sosial adalah lazim.
Demikianlah isi Surat Menterii Koondinator
Politik dan Keamanan yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman untuk menjadi
perhatian. Dari isi Surat Menteri Koordinator Polkam tersebut dapatlah
diketahui adanya kekhawatiran dibidang Polkam bahwa adopsi internasional
tersebut dapat menjurus pada motif perdagangan anak, sehingga dalam
pelaksanaannya perlu mendapat perhatian dari Menteri Kehakiman.
7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6
Tahun 1983 tentangpenyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai
Pengangkatan Anak.
Dalam Surat Edaran tersebut di atas
ditentukanantara lain tentang syarat-syarat Permohonan Pengesahan/Pengangkatan
anak antara warganegara Indonesia oleh orang tua angkat Warganegara Asing (“Inter Country
Adoption”). Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut ditujukan kepada semua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim Pengadilan Tinggi, dan semua Ketua, wakil
Ketua, Hakimhakim Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.
Surat Edaran tersebut dikeluarkan dengan
pertimbangan, bahwa berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung yang menghasilkan
kesimpulan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak yang diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian hari kian bertambah, baik
yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan
permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak.
Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa
kèbutuhan akan
pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk
memperoleh jaminan kepastian hukum untuk itu hanya di dapat setelah memperoleh
suatu putusan pengadilan.
Demikianlah ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada semenjak sebelum perang di Indonesia hingga
sekarang yang masih benlaku.
B. Hukum Adat
Seperti telah diterangkan di muka, kecuali
dalam peraturan perundang-undangan, ketentuan hukum tentang pengangkatan anak
terdapat pula dalam hukum adat. Yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum
yang berlaku bagi penduduk pribumi, sebagai terjemahan dan Bahasa Belanda “adatrecht” yang
digunakan pertama kali oleh Prof. C. Snouck Hourgronje dalam bukunya “De Atjehers”.
Kemudian C. van Vollenhoven pada permulaan
abad ke dua puluh yang telah menyelidiki hukum adat secara mendalam, membagi
lagi daerah hukum adat di Indonesia sebanyak 19 daerah hukum adat.
Berdasarkan pembagian daerah hukum adat
itu, maka di berbagai daerah hukum adat di Indonesia mengenai pengangkatan anak
tidak terdapat keseragaman karena kaitannya yang langsung dengan hukum
keluarga.
Di daerah-daerah yang hubungan keluarganya
mengikuti garis ke-Bapakan (Patrilineal) antara lain di Tapanuli, Nias, Gayo,
Lampung, Maluku, Kepulauan Timór dan Bali pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak
laki-laki dengan tujuan utama penerusan keturunan.
Di daerah-daerah yang mengikuti garis
ke-Ibuan (Matrilineal) terutama di Minangkabau pada prinsipnya tidak dikenal
lembaga adat pengangkatan anak. Menurut hukum adat waris yang berlaku di daerah
Minangkabau maka mata pencanian seorang suami tidak akan diwarisi oleh
anak-anaknya sendiri, melainkan oleh saudara- saudaranya sekandung beserta
turunan saudara perempuannya yang sekandung. Akibatnya di Minangkabau tidak
mendesak untuk mengangkat anak, sebab yang mewaris adalah anak-anak dan
saudaranya yang perempuan sehingga tidak terjadi pengangkatan anak. Namun
menurut Ter Haar di daerah perbatasan antara Minangkabau dan Mandailing
kadangkadang ada pengangkatan anak.
Di daerah-daerah yang mengikuti garis
ke-Ibu-Bapakan (Parental) antara lain Jawa dan Sulawesi, pengangkatan anak
(laki-laki atau wanita) pada umumnya ditujukan pada keponakannya sendiri
berdasarkan alasan-alasan atau tujuan:
- untuk memperkuat pertalian kekeluargaan
dengan orang tua anak yang diangkat.
- untuk menolong anak yang diangkat atau
dasar belas kasihan.
- atas dasar kepercayaan agar dengan
mengangkat anak, kedua orang tua angkat dikaruniai anak sendiri.
- untuk membantu pekerjaan orang tua
angkat.
Pengangkatan anak menurut hukum adat
mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu. Di Bali pengangkatan anak menjadikan
anak angkat menjadi anak sah sama sekali. Yang diangkat anak baik secara
lahiriah (uiterlijk) maupun secara batiniah merupakan anak sendiri. Di Kolaka
menurut adat Tolaki, yang mengasuh si anak dianggap Ibunya yang sesungguhnya
melahirkannya (“Ie peanake, ie umoanai”).
Di daerah Toraja dan kebanyakan di Pulau
Jawa, pengangkatan anak menjadikan si anak mempunyai kedudukan seperti anak
kandung. Di Aceh Tengah, hubungan demikian dilukiskan dengan kata-kata :Jauh
disusul, hilang dicari, hidup dibimbing, mati dikafankan (“juch
geuseutot, gadoh geumita udep geupeujalan, mate geupeugaphan”).
Di lain-lain daerah pengangkatan anak tidak
menyebabkan hubungan dengan orang tua kandung putus sama sekali.
Perkawinan dilakukan guna membentuk
keluarga yang harmonis, terdiri dari ayah, ibu dan anak. Demikianlah suatu
haknya baru sempurna bila ketiga macam unsur itu ada. Dengan motif yang
demikianlah orang Indonesia mengangkat anak. Motif lain ialah dengan dasar
mengasihi atau menyayangi anak yang terlantar, atau karena ingin membantu orang
tua yang tidak mampu mendidik sendiri anak-anaknya, orang mengangkat anak.
Dengan demikian pengangkatan anak
berdasarkan adat pada umumnya tidak ditujukan pertama-tama dan terutama pada
kepentingan kesejahteraan anak baik rohani, jasmani maupun sosial.
Demikianlah ketentuan hukum mengenai
pengangkatan anak yang berlaku menurut hukum adat secara garis besarnya sesuai
dengan daerah hukum adatnya masing-masing.
C. Hukum Islam
Setelah kita mengetahui masalah
pengangkatan anak dan segi peraturan perundang-undangan dan dari segi hukum
adat kiranya perlu diketahui masalah pengangkatan anak dari segi Hukum Islam.
Sudah sejak zaman dahulu kala (zaman
Jahiliyah) orang Arab mengenal dan telah melakukan pengangkatan anak. Nabi
Muhammad S.A.W pada waktu itu mengangkat seorang laki-laki bernama Zaid bin
Haritsah.
Pengangkatan anak dalam Islam bersumber
langsung pada wahyu Illahi sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahzab (33:4-5-37).
Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad
S.aw. dalam mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang
berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu.
Surat Al-Ahzab (33 :4-5 -37) dalam garis
besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Allah tidak menjadikan dua hati dalam
dada manusia;
2. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu
3. Panggillah anak angkatmu menurut nama
Bapaknya;
4. Bekas isteri anak angkat boleh kawin
dengan Bapak angkat.
Dari rumusan ayat tersebut di atas,
dapatlah kita ketahui, bahwa menurut agama Islam, anak angkat bukanlah anak
kandung. Hubungan darah tidak pernah terputus antara ayah kandung dengan anak
kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si anak dipanggil menurut nama bapak kandungnya.
Dan oleh karena itu menurut hukum Islam tidak ada halangan sama sekali untuk
menikah antara anak kandung dengan anak angkat.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya
dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut
1. tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan orangtua biologis dan keluarga.
2. anak angkat tidak berkedudukan sebagai
pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua
kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris
dari anak angkatnya.
3. anak angkat tidak boleh mempergunakan
nama orang tua angkatnya secara langsung sekedar sebagai tanda pengenal/alamat.
4. orang tua angkat tidak dapat bertindak
sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.
Dalam ketentuan tersebut di atas dapat
diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat
pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau
menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Berdasarkan prinsip dasar termaksud maka
hukum Islam tidak melarang memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan
penghidupan oleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, antara lain berupa:
1. pemberian hibah kepada anak angkat untuk
bekal hidupnya di kemudian hari.
2. Pemberian wasiat/testamen kepada anak
angkat dengan ketentuan tidak boleh lebih dan sepertiga harta kekayaan orang
tua angkat yang kelak akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak. Pangkal
dasar hukum Islam tentang pengangkatan anak
dapat dijumpai dalam Al-Quran surat Al Ashab ayat (4) dan (5) yang diartikan
sebagai berikut:
a. Ayat (4) Allah tidak menjadikan dua buah
hati dalam dada manusia Dia (Allah)
tidak menjadikan anak angkatmu
sebagai anak kandung sendiri yang
demikian itu hanya perbuatanmu di
mulutmusaja. Dan Allah menyatakan yang
sebenarnya dan Dia menentukan jalan yang benar.
b. Ayat (5): Panggillah anak-anak angkatmu
inidengan memakai nama Bapak-bapak mereka, itulah lebih adil di sisi Allah. Dan
bila kamu tidak mengetahui Bapak-bapak mereka, maka panggillah merekasebagai
saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Bertolak dari hal-hal yang diutarakan di
atas, dapat disimpulkan prinsip-prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam
bertujuan mencegah agar seseorang anak tidak sampai terlantar dalam hidupnya
dan bersifat pengarahan yang dapat disertai dengan pemberian bantuan
penghidupan untuk kesejahteraan anak.
Dapat disimpulkan tujuan utama pengangkatan
anak menurut hukum islam adalah untuk kepentigan kesejahteraan anak. Hal ini sejalan
dengan isi dan semangat pasal 12 mengenai pengangkatan anak dalam UU No. 4/1979
tentang kesejahteraan anak.
Jadi jika dikaitkan dengan UUDRI 1945 pasal
34 dan nilai-nilai luhur Pancaila sebagaimana diketengahkan di atas serta isi
dan semangat UU No. 4/1979, maka dapat disimpulkan tujuan pengangkatan anak
scara nasional terutama adalah untuk kesejahteraan anak baik rohani, jasmani
maupun sosial
D. Akibat Hukum pengangkatan Anak
Di atas kita telah berbicara tentang
pengangkatan anak (PAK) yang bersumber dari hukum tertulis, hukum adat dan
hukum Islam, dimana hukum terebut menjadi pegangan dalam melakanakan PAK. Oleh
karena itu perlu pula dalam hal ini kita membahas tentang akibat hukum
pengangkatan anak, dimana terlebih dahulu kita uraikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam S.1927 No. 129
dan UU No. 62/1958, kemudian akan dikita uraikan dari sisi hukum adat dan
berdasarkan hukum Islam dan pada akgirnya berdasarkan praktek pengadilan.
Sebagai akibat hukum pengangkatan anak yang
diatur dalam S.1927 No.129, maka ;
1. Anak angkat secara hukum memperoleh nama
dari bapak angkat (pasal 11).
2. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang
dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat (pasal 12 ayat 1)
3. anak angkat menjadi ahli waris orang tua
angkat;
4. karena pengangkatan anak, terputus
segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara
anak dengan orang tua kandung).
Dengan adanya yurisprudensi yang
membolehkan pengangkatan anak perempuan bagi mereka yang diperlakukan S. 1917
No. 129, memberikan akibat hukum yang sama dengan di atas.
Selanjutnya sebagai akibat hukum
pengangkatan anak berdasarkan Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang
kewarganegaraan membawa akibat perubahan status publik si anak yang mengikuti
status publik orang tua angkat
Pengangkatan anak menurut hukum adat
seperti telah diuraikan di atas, dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada
suatu kesatuan cara untuk semua daerah di Indonesia. Demikian pula dengan
akibat hukum dan pengangkatan anak itu berbeda-beda menurut masing- masing
hukum adat setempat.
Pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak
membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan
hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkat. Anak tetap memakai nama dan
bapak kandung dan tetap menjadi ahli waris dari orangtua kandung.
Kedudukan anak angkat di dalam masyarakat
yang sifat susunan kekeluargaànnya yang parental seperti misalnya di Jawa berbeda dengan kedudukan
anak angkat dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaannya
patrilineal seperti di Bali.
Di Jawa perbuatan mengangkat anak hanyalah
sebagai anggota rumah tangga atau keluarga yang mengangkatnya tetapi tidak
memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tuanya sendiri.
Akibatnya anak itu tetap berhak mewaris dari orang tuanya sendiri, dan di
samping itu ia juga berhak mewaris dari orang tua angkatnya (“meminum air
dari dua sumber”, seperti dikatakan oleh bjojodigoeno - Tirtawinata, 1940).
Sedangkan di Bali tindakan mengangkat anak
merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak itu ke dalam keluarga yang
mengangkatnya, sehingga anak itu seterusnya berkedudukan sebagai anak kandung
untuk meneruskan kedudukan dari Bapak angkatnya
Walaupun demikian, pengadilan di dalam
praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan anak antara
anak dengan orang tua sebagai berikut :
a).Hubungan darah : mengenai hubungan ini
dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandung.
b). Hubungan waris: dalam hal waris secara
tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dan orang
tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dan orang tua angkat.
c). Hubungan Perwalian: dalam hubungan
perwalian mi terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih
kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan
oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua beralih kepada orang tua
angkat.
d). Hubungan marga, gelar, kedudukan adat:
dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung,
melainkan dari orang tua angkat
E. Batas-batas Kewenangan Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Agama
Secara faktual diakui bahwa pengangkatan
anak telah menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia
dan telah merambah dalam praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum
terbentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus, pemerintah telah
mengeluarkan Instruksi Presdien Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 17 Huruf h, secara definistif disebutkan
bahwa “ Anak Angkat
Adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tu asal kepada
orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan Definisi anak angkat dalam
Kompilasi Hukum Islam tersebut, jika dibandingkan dengan definisi anak angkat
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki
kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “Anak Angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
orang yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan.
Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum melalui penetapan
pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai Penjaga ketertiban dan sebagai
rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan
pengadilan tersebut merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum
pengangkatan anak yang.hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa
pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak
angka.t maupun bagi orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan
melalui pengadilan tersebut, telah berkembang baik di lingkungan Pengadilan
Negeri maupun dalam lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama
Islam.
Selama ini perkara permohonan pengangkatan
anak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Negeri, dengan hukum terapan
Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang filosofinya berasal dari budaya masyarakat
keturunan Tionghoa, dan membawa konsekuensi yuridis yang sangat bertentangan
dengan hukum Islam. Ketentuan adopsi berdasarkan Staatsblad No. 129 Tahun 1917
hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan itu pun harus dengan akte notaris.
Sungguh pun demikian, Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Jakarta Istimewa)
tanggal 29 Mei 1963 membolehkan adopsi anak perempuan. Sementara itu, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor. 6 Tahun 1983 mengatur tentang Pengangkatan
Anak antar Warga Negara Indonesia. Surat edaran ini selain menetapkan
pengangkatan anak langsung antara orang tua kandung dan orang tua angkat
(private adoption), juga menetapkan pengangkatan anak oleh seorang warga negara
Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/ belum menikah (single
parent adoption).
Perkara permohonan pengangkatan anak
sendiri bukan merupakan perkara baru di Pengadilan Agama, hal tersebut telah
diakomodir oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dimana status, hak dan kedudukan
anak angkat dan orang tua angkat secara tegas dirumuskan dalam Pasal 209 ayat
(1) dan (2) KHI. Sejak saat itu, dari tahun ke tahun perkara permohonan
pengangkatan anak semakin bertambah. Untuk itu, maka ummat Islam menuntut
melalui lembaga legislatif agar diberikan saluran hukum untuk mengajukan
permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, maka pada tanggal 20
April 2006 lahirlah UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan Pasal 49 huruf (a) angka 20 UU
Peradilan Agama tersebut, Pengadilan Agama diberikan kewenangan absolut untuk
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara ... ”asal usul
anak dan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”. Terbitnya UU ini semakin
memantapkan kewenangan peradilan agama dalam menangani permohonan pengangkatan
anak angkat. Namun demikian, dengan masuknya pengangkatan anak menjadi
kewenangan absolut pengadilan agama, di satu sisi memunculkan persoalan baru,
baik itu secara teknis maupun administratif. Di sisi lain, produk penetapan
pengangkatan anak yang dikeluarkan Pengadilan Agama memunculkan akibat hukum
yang berbeda pula dibandingkan dengan produk penetapan yang dikeluarkan
Pengadilan Negeri.
Perbedaan Pengangkatan Anak di Pengadilan
Negeri dengan Pengadilan Agama
Mengenai perbedaannya, penulis akan
menampilkan dalam bentuk matriks berikut ini :
No. Unsur Perbedaan Pengadilan Negeri
Pengadilan Agama
1 Nasab Anak angkat terputus dengan nasab
orang tua kandungnya, dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya Anak angkat
tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, yang beralih hanyalah
tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat
2 Panggilan Anak angkat dipanggil
(bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua angkatnya Anak angkat dipanggil
(bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua kandungnya
3 Perwalian Orang tua angkat menjadi wali
penuh terhadap anak angkatnya, termasuk menjadi wali nikah, jika anak angkat
perempuan. Orang tua angkat tidak sah menjadi wali nikah anak angkatnya, jika
anak angkat perempuan
4 Hak Waris Anak angkat memliki hak waris
sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung, dapat menghabiskan
seluruh harta warisan orang tua angkatnya, dan juga menggugurkan hak waris
orang tua dan saudara kandung orang tua angkat, jika orang tua angkat tidak
mempunyai anak Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.
Anak angkat dapat memperoleh harta warisan orang tua angkatnya melalui lembaga
wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta
warisan
5 Mahrom Kawin Anak angkat tidak sah
dinikahi oleh orang tua angkatnya Anak angkat boleh dinikahi orang tua
angkatnya
6 Status anak angkat dengan status orang
yang mengangkat Apabila orang tua angkatnya adalah laki-laki yang telah kawin,
maka anak angkat secara serta merta dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan mereka.Apabila ayah angkatnya seorang suami yang telah kawin dan
perkawinannya telah putus, maka anak angkat harus dianggap sebagai anak yang
lahir dari mereka yang disebabkan putus karena kematianApabila seorang janda
mengangkat seorang anak, maka ia dianggap lahir dari perkawinannya dengan suami
yang telah meninggal dunia Hukum Islam melarang ketentuan-ketentuan tersebut
7 Pihak yang mengajukan permohonan Antar
WNI yang bukan beragama Islam, dan Pengangkatan anak beda kewarganegaraan Antar
WNI yang beragama Islam
DAFTAR PUSTAKA
Arif Gosita, SH.Dr. Masalah perlindungan
Anak, Cet. Ke.3 PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 1984.
Aroma Elmina Martha, Perempuan, kekerasan
dan Hukum, Cet. Ke 1.UII Press, Jojakarta, 2003.
Andy Yentriyani, Politik Perdagangan Perempuan,
Cet. Ke.1 Galang Press, Jogjakarta, 2004.
Bismar Siregar, SH, Hukum dan Hak-hak Anak,
Cet. 1. Rajawali, Jakarta, 1986.
Darwan Prinst, SH. Hukum Anak Indonesia,
Cet. Ke . PT. Citra Aditya Bakti, Bandug, 1997
Indonesia, Undang-undang No.3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak, LNRI Tahun 1997 Nomor 3. TLNRI No.3668.
_________, Undang-undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, LNRI Tahun 2002 Nomor 109. TLNRI No.4235.
_________, Undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, LNRI Tahun 1970 Nomor 74. TLNRI No.3256.
_________, Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LNRI Tahun 2004 Nomor 95.
TLNRI No.4419.
M. Budiarto, SH, Pengangkatan Anak ditinjau
dari segi hukum,Cet. Ke 2, Akademika Presindo, Jakarta, 1991
Zulkhair, Sholeh Soeaidy, Dasar Hukum
perlindungan Anak, Cet ke.1 CV. Novindo Pustaka Mandiri, jakarta, 2001
setanon di 00.52
Komentar